This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 26 April 2012

Retrolabyrinthine Approach - Bag. 2


Planning dan Positioning
·        Pasien diposisikan semilateral, dengan ganjal bahu di ipsilateral lesi.
·        Kepala lalu difiksasi dengan Mayfield head holder dengan dua pin diletakan pada occipital jauh dari midline. Satu pin diletakan pada dahi ipsilateral, lateral dari mid-pupillary line, idealnya di belakang garis rambut.
·        Setelah pin dipasang, kepala diposisikan sehingga daerah yang berada tepat di belakang pinna berada superior dari mastoid process dan menjadi titik tertinggi dari kepala pasien. Dengan elevasi bahu ipsilateral yang adekuat, posisi ini akan tercapai dengan merotasi kepala sedikit ke kontralateral, flkesi leher minimal, dan elevasi kepala.



Prosedur
·        Kulit diincisi C-shaped dengan konvex portion dari “C” menghadap posterior. Upper limb dari incise dimulai tepat superior dari pinna. Ketinggian superior limb ini dapat diperkirakan dengan menggambar garis dari zygomatic arch ke inion dan permulaan dari upper limb tepat di atas exernal auditory canal sepanjang garis ini, dimana sebaiknya berpotongan dengan linea temporalis. Incisi berakhir tepat inferior dan anterior dari mastoid tip. Apex dari “C” sebaiknya cukup jauh ke belakang untuk dapat mengekspos seluruh dari asterior, yang berada di sepertiga dari pinna ke inion.


·        Soft tissue lalu dielevasi dan diidentifikasi untuk kepentingan landmark. Setelah diincisi, scalp lalu dipisahkan dari lapisan pericranium dibawahnya dan dielevasi ke anterior. Pericranial flap lalu diflap ke anterior. Diseksi soft tissue sebaiknya dilakukan ke arah anterior sampai external auditory canal dapat terpalpasi. Ketika mastoid process telah terekspos, perlekatan otot sternocleidomastoid dan splenius capitus dipisahkan secara partial dari mastoid tip hingga tulang terlihat lengkungannya ke arah medial.


·        Mastoidectomy dilakukan berbentuk segitiga dengan curvilinear hypotenuse tepat posterior dari external auditory canal. Superior limb dari segitiga berada parallel dan inferior dari linea temporalis mulai tepat posterior dari zygomatic root ke tepat posterior dari asterion. Anterior limb segitiga berada mulai dari titik anteriormost inferior dari superior limb , mengikuti kurva dari external auditory canal, berakhir di inferior dari mastoid tip. Posterior limb segitiga, mulai dari asterior ke mastoid tip. Landmark yang penting yaitu spine of Henle, tepat posterior dan superior dari external meatus. Titik ini secara kasar merupakan landmark mastoid antrum dimana semicircular canal dan facial nerve berada.


·        Prosedur berikutnya yaitu delineation sinodural angle. Setelah ekspos dari sinus dan dura, epitympanum diekspos dengan drill bermata bor diamond. Bony labyrinth yang menutupi semicircular canal di-skeletonized secara hati-hati tanpa mencederai semicircular canal. Ketika batas-batas dari labyrinth telah ter-delineasi, retrolabyrinthine bone removal lalu dilanjutkan secara aman hingga sinodural angle teridentifikasi dan duramater middlesigmoid dan presigmoid yang berdekatan terekspos luas hingga sinodural angle (of Citelli).


·        Prosedur delineation fallopian canal. Ekspos yang adekuat pada approach ini memerlukan ekspos duramater presigmoid hingga mencapai jugular bulb. Vertical portion dari facial nerve berada di jugular bulb dan dura pada daerah ini. Fallopian canal diidentifikasi anterior dan inferior dari bony labyrinthine di epitympanum. Ketika sudah teridentifikasi, fallopian canal lalu di-skeletonized dengan diamond drill, terutama pada permukaan yang lebih dalam dengan drilling mengarah dari rostral ke caudal, hingga jugular bulb teridentifikasi. Drilling tulang dapat dilanjutkan hingga batas anteroinferior dimana terletak facial nerve dibawahnya.



·        Incisi dura. Duramater diincisi berbentuk C-shape di sekitar epitympanum dengan dasar tengahnya mengarah ke labyrinth. Sangat penting untuk dapat menidentifikasi endolymphatic sac dan pada saat melakukan dural flap sehingga aliran endolymphatic tidak terganggu. Tergantung pada tujuan pembedahan, superior petrosal sinus dapat dikorbankan sebagai bagian dari tentorial division,dan dura di fossa media dapat dibuka untuk mendapatkan visualisasi dari apex petrous, incisura tentorium atau dasar dari fossa media.



Hal yang perlu diperhatikan
·        Akan banyak ditemukan mastoid emissary veins selama proses diseksi, dan ketika mendapatkan perdarahan dari salah satu vena ini, lebih baik lanjutkan diseksi hingga selesai dan tidak menemukan lagi mastoid emissary veins sebelum menghentikan perdarahan dengan bone wax.
·        Drilling sebaiknya dimulai dengan large cutting bur dan kemudian dilanjutkan dengan menggunakan diamond bur untuk mencegah cedera terhadap facial nerve dan sigmoid sinus apabila struktur ini sudah terlihat.
·        Ukuran mata drill yang terbesar sebaiknya yang digunakan pada saat drilling karena ukuran yang besar lebih aman dan mencegah kerusakan apabila mengenai struktur pembuluh darah atau saraf dibandingkan menggunakan mata drill berukuran kecil.
·        Perhatikan pada saat memposisikan kepala, untuk mencegah kinking dari jugular vein kontralateral.
·        Pada saat diseksi soft tissue, hindari diseksi sampai masuk ke external auditory canal.

Referensi
1.       Sughrue ME, Parsa AT. Retrolabyrinthine approach in Core Techniques in Operative Neurosurgery.  Edited by Rahul J, Paul CM, Peter MB. Elsevier Saunders, Philadelphia, page 122-128, 2011
2.       Jumani KT, Banerjee A. Management options for skull base/petrous apex lesions in Journal of ENT MasterclassYear Book 2008 Vol. 1 No. 1, page 38-44, 2008
3.       Bambakidis N, Fernandogonzalez L, Amin-Hanjani S, Deshmukh VR, Porter RW, Daspit PC, Spetzler AS, Combined skull base approaches to the posterior fossa, A Technical note, Neurosurg Focus 19 (2):E8, page 1-9, 2005
4.       Russell SM, Roland JT, Golfinos JG, Retrolabyrinthine Craniectomy: The unsung hero of skull base surgery, Skull Base: An Interdisciplinary Approach / Volume 14, Number 1, page 63-71, 2004

Yuk, kita nge-GOWES

Ane baru dapet hobby baru nih, ngikutin jejak para cycler mania....
Yuk, kita nge-gowes teman-teman!!!
Tapi buat newbie kayak ane, baiknya musti kenal dulu dari awal tentang sepeda itu sendiri. Nih dia anatomi sepeda secara ringkasnya.



Nah, gimana temen2 semua, daripada pusing mikirin harga BBM yang naik, yuk kita ngegowes aja!!
Selain ngurangin kebutuhan kantong buat beli BBM, badan pun jadi SEHAT!!
Satu lagi, yang penting SEPEDAAN-NYA, bukan SEPEDA-NYA !!
YUK KITA NGEGOWES....

Retrolabyrinthine Approach - Bag. 1


Pendahuluan
            Approach tradisional ke fossa posterior tidak memungkinkan akses langsung ke lokasi kompleks lesi baik di lateral skull base, cerebellopontine angle (CPA), atau clivus. Untuk mengurangi retraksi otak dan memungkinkan complete resection, banyak approach yang dikembangkan dari arah lateral dan anterior brain stem dan cerebellum. Semua approach ini merrupakan kombinasi dan variasi dari transtemporal bone route. Tidak seperti craniotomy di lokasi lain, titik masuk ke fossa posterior melalui tulang temporal mempunyai masalah khusus bagi pembedah jika internal carotid artery (ICA), sigmoid sinus (SS), cranial nerves VII dan VIII, dan struktur khusus untuk pendengaran dan keseimbangan, akan dipertahankan. Walaupun banyak istilah nomenclature dari approach ini, hanya sedikit beberapa yang membedakan diantaranya. Pilihan approach diambil berdasarkan pada lokasi, tipe, dan perluasan dari lesi. Approach yang terbaik ke arah lesi harus berdasarkan pada approach standar yang direkomendasikan sehingga meminimalkan cedera terhadap struktur normal. Berdasarkan inilah, transtemporal approach menggambarkan diseksi anatomis yang saling berhubungan, dengan sedikit perbedaan satu sama lain antara masing-masing approach. Karenanya disarankan untuk saling bekerjasama antara neurosurgeon dan otologist. Pada artikel ini hanya akan dibahas retolabyrinthine approach.

Retrolabyrinthine approach
Terdapat tiga jenis retrolabyrinthine approach (Vrionis FD, 2006) :
  • Presigmoid approach
  • Transsigmoid approach
  • Retrosigmoid (Suboccipital) approach

Presigmoid approach
            Retrolabyrinthine presigmoid approach pertama kali diperkenalkan oleh Hitselberger dan Pulec pada tahun 1972, dan dipopulerkan oleh Silverstein dan Norrel pada tahun 1977 dan House et al. pada tahun 1984. Approach ini dilakukan melalui mastoid air cell, dengan elevasi dural flap diantara labyrinth dan sinus sigmoid. Konsep dari prosedur ini berdasarkan arah masuk ke CPA anterior dari SS, sehingga mengurangi retraksi cerebellar. Awalnya digunakan untuk partial sectioning dari serabut saraf sensoris nerve V pada kasus trigeminal neuralgia. Juga dapat digunakan pada selective sectioning vestibular divison dari cranial nerve VIII pada penanganan vertigo dan endolymphatic duct surgery. Dapat pula digunakan, pada kasus tertentu, untuk mereseksi tumor acoustic berukuran kecil dimana fungsi pendengaran masih tetap dipertahankan.
Keuntungan utama pada approach ini yaitu memberikan akses langsung ke CPA tanpa mengorbankan fungsi pendengaran dan retraksi cerebellar yang minimal. Kerugiannya yaitu ekspos yang terbatas, yang bisa diperluas dengan meretraksi sinus sigmoid atau mastoid air space (crowded mastoid).

Transsigmoid approach
            Approach ini dapat digunakan sebagai bagian dari posterior transpetrosal approach. Eksposure dapat diperluas dengan meligasi sinus sigmoid, biasanya diantara superior dan inferior sinus petrosus atau diantara superior anastomotic vein (vein of LabbĂ©) dan superior petrosal sinus. Karenanya superior anastomotic vein akan mendrainage secara retrograde ke dalam tranverse sinus dan ke dalam jugular system kontralateral. Preoperative angiogram atau MR venogram sangat esensial untuk memastikan patensi dari torcular. Secara umum, sinus nondominan dengan adanya torcular yang paten dapat dikorbankan pada kasus selektif. Temporary clipping pada sinus sigmoid direkomendasikan untuk meng-asses kemungkinan timbulnya temporal lobe atau cerebellar swelling. Sinus sigmoid dapat dibuka dan di-pack dengan Surgicel dan lumennya kemudian disuture, atau dapat diligasi dan diclip. Penelitian pada cadaver dan angiografi menunjukan bahwa insidensi dari unilateral transverse sinus sangat jarang (2,5%), dan absence dari hubungan ke torcular bahkan lebih jarang. Walaupun begitu, kemungkinan buruk dari meligasi unilateral sinus sigmoid, preoperative angiogram atau MR venogram sangat direkomendasikan.

Retrosigmoid approach
            Retrosigmoid approach, juga dikenal sebagai lateral suboccipital approach, bukanlah true transtemporal approach. Approach ini sangat familiar bagi neurosurgeon dan approach tradisional untuk reseksi tumor didaerah CPA. Approach ini memberikan arah masuk yang luas ke fossa posterior dengan maksimal eksposure terhadap tumor seperti misalnya pada vestibular schwannoma. Dengan approach ini, struktur neurovascular dari temporal bone dapat dihindari meskipun harus meretraksi cerebellum. Perkembangan teknik monitoring menggunakan metoda evoked-response telah meningkatkan praktek dari approach ini.

Translabyrinthine Approach
            Pertama kali diperkenalkan pada tahun 1904 oleh Panse, yang mengatakan bahwa approach ini adalah yang terpendek untuk mencapai CPA. Pada tahun 1961, William House melakukan middle fossa approach untuk mereseksi vestibular schwannoma yang berlokasi lateral di dalam IAC dengan ekstensi minimal ke CPA. Karena terbatasnya eksposure, insidensi facial paresis, retraksi lobus temporal, dan terbatasnya pengontrolan terhadap struktur vascular, House memperkenalkan translabyrinthine approach untuk reseksi vestibular schwannoma. Approach ini lebih ke lateral dan memberikan kontrol langsung dari facial nerve dengan men-drill melalui labyrinth. House menyatakan bahwa vertical crest (Bill’s bar) di lateral end dari IAC sebagai landmark. Perbedaan antara superior dan inferior vestbular nerve akan mudah terlihat pada approach ini.
            Variasi dari translabyrinthine approach antara lain lebih mengekspos sinus sigmoid dengan mobilisasi dari jugular bulb, men-drilling infralabyrinthine air cells untuk memperluas akses pada tumor yang berukuran besar. Kemungkinan untuk mempreservasi fungsi pendengaran masih memungkinkan dengan approach ini, walaupun telah mengablasi semua ketiga semicircular canal dengan preservasi dari cochlea dan saccula, namun dengan fungsi pendengaran yang agak menurun. Variasi lain dari translabyrinthine approach yaitu dengan menambahkan suboccipital approach dengan partial labyrinthectomy, sehingga hanya menyisakan visualisasi dari Bill’s bar dan lateral IAC.
            Salah satu keuntungan dari translabyrinthine approach dibandingkan dengan middle fossa approach yaitu setelah men-drilling labyrinth, tumor akan langsung terlihat bersama dengan superior dan inferior vestibular nerve. Dan karena facial nerve terletak di anterior, akan menjadi terlindungi. Sebaliknya pada middle fossa approach,facial nerve akan berada di bawah dura. Keuntungan approach ini dibandingkan suboccipital approach yaitu minimalnya retraksi cerebellar, sehingga untuk tumor berukuran besar dan reseksi tumor diperkirakan akan memakan waktu lama, postoperatif cerebellar edema, hematoma atau infark akan minimal. Kerugian pada approach ini yaitu tambahan waktu operasi dalam melakukan labyrinthectomy dan rusaknya fungsi pendengaran.

Indikasi Translabyrinthine Approach
            Tujuan dari translabyrinthine approach yaitu mengekspos IAC dan CPA melalui labyrinth tanpa memasuki middle ear. Tumor berukuran besar yang menempati IAC dan CPA dapat dicapai dengan approach ini. Karenanya fungsi pendengaran dan keseimbangan akan dikorbankan. Sehingga approach ini diindikasikan hanya pada vestibular schwannoma yang fungsi pendengarannya tidak mungkin kembali (speech reception treshold > 50 db dan speech discrimination score < 50%). Approach ini ideal untuk vestibular neurectomy untuk intractable vertigo ketika fungsi pendengaran telah hilang. Untuk pasien dengan fungsi pendengaran yang normal, approach ini dikontraindikasikan.

Infralabyrinthine Approach
Pada tahun 1985, Gherini et al. memperkenalkan infralabyrinthine approach untuk surgical management pada cholesterol granuloma yang berlokasi di petrous apex dan CPA. Tujuan approach ini untuk mempermudah akses ke arah petrous apex yang berada inferior dari labyrinth. Approach ini juga dapat digabungkan dengan suboccipital approach untuk reseksi meningioma di petrous ridge dengan ekstensi ke dalam temporal bone, tetapi tidak mengenai labyrinth, sehingga fungsi pendengaran masih dapat dipreservasi.

Komplikasi dan Kerugian
            Jika jugular bulb berada pada posisi yang tinggi, akses di bawah labyrinth dan di atas jugular bulb menjadi terbatas. Evaluasi preoperatif yang baik menggunakan CT dengan resolusi tinggi sangat berguna. Pengukuran jarak antara labyrinth dan jugular bulb pada potongan coronal akan sangat berguna; dimana jarak kurang dari 1 cm akan memberikan keterbatasan akses untuk dapat mencapai total reseksi, sehingga disarankan menggunakan approach lain (misal transcanal-infracochlear).
            Komplikasi yang dapat timbul antara lain cedera terhadap facial nerve, carotid artery, jugular bulb, dan labyrinth. Pada kasus cholesterol granuloma, dapat menimbulkan scar dan granuloma-nya sendiri dapat rekuren.

Korelasi Anatomi - External Cranial Landmarks
Untuk mencapai optimal exposure dari mastoid region pada retrolabyrinthine approach, surgeon harus dapat menentukan lokasi dari incisi dengan mempalpasi external osseus landmark (Figure 1A). External acoustic meatus, zygomatic arch, external occipital protuberance (inion), dan mastoid process harus teridentifikasi. Garis khayal yang melintang dari zygoma ke inion akan melewati tepat superior dari external acoustic meatus dan memotong, berturut-turut, linea temporalis (supramastoid crest), asterior, dan superior nuchal line. Linea temporalis, tonjolan tulang yang berasal dari root zygoma, berjalan hampir paralel terhadap zygomatic arch hingga ke asterior. Supramastoid crest ini menandakan batas superior dari tulang mastoid dan menjadi lantai dari fossa media. Perpanjangan ke posterior dari linea temporalis berhubungan dengan aspek posterior terluar dari mastoid body. Asterior merupakan landmark dari transverse-sigmoid junction dan merupakan pertemuan dari tiga sutura: lambdoid, parietomastoid, dan occipitomastoid. Superior nuchal line menjadi landmark dari sinus transversus dan menjadi origo dari cervical muscle ke occiput.
            Mastoid emissary vein biasanya mulai ada sekitar 1 cm inferior dari asterion dan sedikit ke anterior dari sutura occipitomastoid. Vena ini menghubungkan sinus sigmoid dengan cutaneous venous plexus dan dapat menjadi sumber perdarahan dan berpotensi menyebabkan emboli udara jika terobek.
            Ketika fascia, sternocleidomastoid muscle dan splenius capitus muscles yang melekat di mastoid tip telah dibebaskan, seluruh landmark tulang harus diidentifikasi sebelum mastoidectomy dilakukan. Landmark yang harus diidentifikasi yaitu root zygoma, external auditory meatus, linea temporalis, mastoid emissary foramen, asterior, dan spine of Henle (Figure 1B). Spine of Henle, atau suprameatal spine, adalah small horizontal ridge tulang yang terletak di posterior-superior rim dari external auditory meatus. Landmark ini bersama cribrose area, menjadi jalur ke mastoid antrum, yang terletak sekitar 15 mm ke dalam dari spine of Henle.
            Ketika semua struktur telah terekspos dan dura dibuka, akan terlihat brain stem dimana origin dan cisternal segmen dari VII-VIII cranial nerve complex akan terlihat di cerebellopontine angle. Loop dari anterior inferior cerebellar atery (AICA) kadang dapat ditemukan bersama-sama dengan complex saraf ini.



Indikasi
·        Retrolabyrinthine approach adalah approach yang mempreservasi fungsi pendengaran dengan cara melakukan mastoidectomy dan skletonization dari sinus sigmoid untuk mengekspos presigmoid duramater dibelakang canalis semicircular.
·        Prinsip utama dari approach ini yaitu kemampuannya untuk mengekspos secara luar permukaan dari posterior petrous dan cisternal portion dari cranial nerve VII dan VIII dengan retraksi minimal dari cerebellum.
·        Retrolabyrinthine approach biasanya digunakan untuk mengidentifikasi dan mengekspos superior petrosal sinus, sebagai langkah pertama untuk mengenali bagian tentorium.
·        Biasanya digunakan untuk tumor-tumor di daerah CPA dan petrous ridge posterior, vestibular neuronectomy, partial section dari sensory root trigimenal nerve, fenestrasi symptomatic arachnoid cyst, dan biopsi lesi brain stem.

Kontraindikasi
Approach ini tidak dapat mengakses internal auditory canal atau apex petrous secara langsung karena interposisi struktur labyrinthine dan cochlear.

Bersambung ke Bagian 2



Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More