This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Rabu, 04 Juli 2012

Chordoma - Bagian 3

Penatalaksanaan1
                Karena sifat alami chordoma yang kemoresisten dan relative radioresisten, penatalaksanaan yang dianut sejak Cushing yaitu dengan surgical excision. Karena rekurensi lokal dibandingkan dengan metastasis jauh sangat mempengaruhi tingginya angka morbiditas dan mortalitas pasien, maka tujuan terapi yang tepat adalah complete excision dari tumor. Beberapa studi tentang kasus sacral chordoma dengan en bloc resection tanpa mengganggu margin tumor atau true oncologic resection (contohnya, dengan complete extirpation baik secara gross dan mikroskopik tercapai) berhubungan dengan meningkatnya angka survival dan mengurangi rate rekurensi lokal.          Semangat untuk melakukan reseksi yang agresif mulai menurun demi tercapainya surgical decompression yang aman diikuti dengan adjuvant radiation therapy yang memberikan long-term survival rate dan kualitas hidup yang lebih baik, terutama pada cranial chordoma. Saat ini, ada tiga pilihan penatalaksanaan chordoma: pembedahan saja, pembedahan diikuti radioterapi, atau biopsy diikuti radioterapi, dan pilihan yang diambil disesuaikan dengan karakteristik pasien dan tumornya sendiri. Untuk pasien yang inoperable, kemoterapi dapat memperlambat atau menghentikan sementara progresi tumor. Karena sifatnya yang tumbuh lambat, agen standard cytotoxic chemotherapy yang dapat membunuh fast-growing cancer cell umumnya tidak efektif, sehingga memerlukan agen kemoterapi berdasarkan targeted molecular cancer cell.

Pembedahan
                Untuk chordoma di sacrum dan mobile spine, complete en bloc resection (tumor removal dalam satu piece) dengan tumor-free margin menjadi tujuan pembedahannya. Reseksi intralesi (tumor removal menjadi beberapa pieces) berhubungan dengan meningkatnya angka rekurensi dan menurunnya survival time10.
                Pembedahan untuk sacral chordoma mungkin melibatkan sebagian sacrum atau seluruh sacrum tergantung pada lokasi dan ukuran tumor. Bergantung pada ekstensi tumor, prosedur ini mungkin juga membutuhkan kombinasi approach untuk mengakses tumor dari berbagai angle. Untuk mencapai wide margin, prosedur ini kadang mengorbankan sacral nerve, yang pada akhirnya menyebabkan gangguan motorik, sensorik, sphincter, atau disfungsi seksual. Ekstensi disfungsi bergantung pada sacral nerve mana yang harus dikorbankan. Secara umum, semakin jauh ekstensi tumor pada sacrum, akan banyak sacral nerve yang harus dikorbankan, dan makin besar pula disfungsi yang akan terjadi pasca operasi.
                Untuk pembedahan baik pada spinal dan sacral chordoma, rekonstruksi mekanik dan soft tissue biasanya dibutuhkan setelah dilakukan tumor removal dan bila mengenai corpus vertebra. Karena kompleksnya pembedahan dan rekonstruksi, multidisciplinary surgical team mungkin dibutuhkan, termasuk didalamnya surgical oncology, neurosurgery, orthopaedi, vascular surgery, dan plastic surgery.

  
Radioterapi
                Ketika tumor telah diremoved, dan complete resection tidak tercapai, radioterapi biasanya direkomendasikan untuk mengurangi kemungkinan re-growth dari residual tumor. Jika tercapai complete resection, radioterapi kadang dianjurkan, tetapi keuntungan dari radioterapi masih dalam penelitian11.
                Chordoma hanya dapat dikendalikan dengan memberikan radiasi dalam dosis yang sangat tinggi – dosis dimana akan menyebabkan kerusakan permanen dari jaringan normal. Karena lokasi tumor yang umumnya berdekatan dengan struktur anatomi penting seperti otak dan spinal cord, dimana keduanya tidak dapat mentoleransi dosis radiasi yang diberikan untuk membunuh chordoma, radioterapi untuk chordoma harus diberikan secara conformal, yaitu terfokus pada tumor dan menghindari jaringan normal disekitarnya.
                Radioterapi dengan menggunakan proton beam therapy sangat direkomendasikan untuk pasien chordoma karena ia memberikan dosis radiasi yang sangat tinggi terhadap tumor tetapi meminimalisir dosis ke jaringan normal disekitarnya. Tipe lain dari particle beam radiation yaitu carbon ion therapy juga mirip dengan proton beam therapy, tetapi hanya tersedia di beberapa center.
                Beberapa tipe conformal radiation lain, seperti radiosurgery (termasuk Gamma Knife dan Cyber Knife) dan intensity modulated radiotherapy (IMRT) dapat juga memberikan hasil yang efektif, tergantung pada ukuran dan lokasi tumor. Belum ada penelitian yang membandingkan secara langsung untuk memberikan hasil yang optimal dari berbagai jenis radioterapi ini. Namun begitu, ada consensus dimana conventional photon radiation tidak memberikan keuntungan pada pasien chordoma12. Pada radioterapi pada spinal chordoma, efek radiasi dapat mengakibatkan kerusakan spinal cord, yang salah satunya bias menyebabkan paralisis. Pada sacral chordoma akan menyebabkan radiation proctitis, yaitu kerusakan jaringan atau inflamasi pada colon.
                Jika tumor rekuren setelah diberikan irradiasi inisial, masih ada kemungkinan diberikan radioterapi kembali atau malah tidak sama sekali. Ini dikarenakan setiap jaringan normal tubuh mempunyai batas toleransi life-time maksimum terhadap radiasi, yang apabila dilewati akan memberikan kerusakan yang serius. Kadang, memberikan radioterapi yang tepat pun dapat merusak struktur normal disekitarnya apabila dosis radiasi yang diberikan mencapai batas life-time maksimum. Karena itu pemberian radioterapi ulang harus memperhatikan pada lokasi dari tumor berasal, lokasi dari tumor yang rekuren, dosis dan distribusi dari radiasi yang diberikan pada saat radioterapi inisial, dan beberapa faktor lainnya13. Dosis radiasi yang diberikan berkisar antara 4500 – 8000 rad untuk saccrococcygeal dan 4500 – 5500 rad untuk cervical spine.

Kemoterapi
                Jika pembedahan dan/atau radiasi saja tidak memungkinkan, kemoterapi dapat diberikan untuk menurunkan progresifitas penyakit. Karena chordoma cenderung tumbuh lambat, umumnya resisten terhadap conventional cytotoxic chemotherapy agent yang biasanya membunuh sel tumor yang tumbuh cepat. Saat ini sedang dikembangkan obat kemoterapi yang dikhususkan secara targeted cell. Diantaranya yaitu Imatinib (Gleevec®), suatu tyrosine kinase inhibitor.

Prognosis
Saat ini median survival mencapai 6,3 tahun14.

Referensi
1.       Justin S. Cetas, S. A. H., Johnny B. Delashaw Jr. Chordoma and Chondrosarcoma. Youmans Neurological Surgery. M. H. Richard Winn. Philadelphia, Elsevier Saunders. 2011.  2: 1587-1593.
2.       Catton C, O'Sullivan B, Bell R, eta!. Chordoma: long-term follow-up after radical photon irradiation. Radiotber Oneal. 1996;41 :67-72.
3.       Brada M, Pijls-Johannesma M, De Ruysscher D. Proton therapy in clinical practice: current clinical evidence. J Clin Oneal. 2007; 25:965-970.
4.       Palmer CA. Chordoma. Downloaded from http://emedicine.medscape.com/article/250902-overview on 6/13/12.
5.       Brandal P, Bjerkehagen B, Danielsen H, Heim S. Chromosome 7 abnormalities are common in chordomas.  Cancer Genet Cytogenet. Jul 1 2005; 160(1): 15-21
6.       Lanzino G, Dumont AS, Lopes ME, et al. Skull base chordomas: overview of disease, management options, and outcome. Neurosurg Focus.  2001; 10(3):EI2.
7.       Letson GD, Muro-Cacho CA. Genetic and molecular abnormalities in tumors of the bone and soft tissues. Cancer Control.  2001; 8:239-25I.
8. Peretti P. Imaging in chordoma. Downloaded from http://emedicine.medscape.com/article/339169-overview   on 6/13/12.
9.       Mukherjee D, ChaiChana KL, GokasLan ZL, Aaronson O, Cheng JS, McGirt MJ. Survival of patients with malignant primary osseous spinal neoplasms: results from the Surveillance, Epidemiology, and End Results (SEER) database from 1973 to 2003. J Neurosurg Spine 14:143–150, 2011
10.   P. Bergh, L.G. Kindblom, B. Gunterberg, F. Remotti, W. Ryd, and J.M. Meis-Kindblom, "Prognostic factors in chordoma of the sacrum and mobile spine: a study of 39 patients.", Cancer, 2000.
11.   D.M. Sciubba, J.J. Cheng, R.J. Petteys, K.L. Weber, D.A. Frassica, and Z.L. Gokaslan, "Chordoma of the sacrum and vertebral bodies.", The Journal of the American Academy of Orthopaedic Surgeons, 2009.
12.   M. Amichetti, M. Cianchetti, D. Amelio, R.M. Enrici, and G. Minniti, "Proton therapy in chordoma of the base of the skull: a systematic review.", Neurosurgical review, 2009.
13.   B.P. Walcott, B.V. Nahed, A. Mohyeldin, J. Coumans, K.T. Kahle, and M.J. Ferreira, "Chordoma: current concepts, management, and future directions.", The lancet oncology, 2012.
14.   Jiang L, Liu ZJ, Liu XG, et al.: Upper cervical spine chordoma of C2-C3. Eur Spine J 18 (3): Eur Spine J: 293-298; discussion 298-300, 2009.

Selasa, 03 Juli 2012

Chordoma - Bagian 2


Gambaran Histopatologi1
                Secara makroskopis, chordoma berbentuk nodular, massa exophytic dengan warna keputihan atau kadang kemerahan. Pada lapisan luar, tumor dilapisi oleh jaringan fibrous yang berhubungan dengan bagian dalamnya yang bersepta-septa yang juga dilapisi jaringan fibrous. Karenanya bila tumor dipotong cross section akan terlihat berlobus-lobus. Walaupun dilapisi jaringan fibrous, tumor ini jarang dilapisi oleh kapsul yang tebal. Pada bagian dalam, tumor terasa lembut, berwarna abu-abu, dan translucent tetapi secara umum tidak ditemukan daerah nekrosis yang signifikan. Sebagai tambahan karena sifatnya yang mendestruksi struktur tulang disekitarnya, tumor ini akan ekspansi hingga mencapai bagian kartilago dari tulang, sehingga keputusan untuk mendapatkan batas excisi secara onkologis  akan sulit bahkan mungkin mustahil.
                Secara mikroskopis, menurut histokimianya chordoma dibagi menjadi tiga tipe: conventional, chondroid dan dedifferentiated. Conventional chordoma terdiri dari sel-sel sheet atau chord dengan eosinophilic cytoplasm yang bercampur dengan mucinous matrix. Gambaran sel-sel ini dapat bervariasi mulai dari sitoplasma yang homogen tanpa ditemukan vacuola hingga sitoplasma dengan gambaran vacuola yang besar, yang disebut juga sebagai physaliphorous atau bubble-bearing cells. Differensiasi menjadi cartiloginous atau kadang kala menjadi osseous-appearing cell dapat terjadi secara fokal atau menyeluruh di seluruh bagian tumor, dan jika ekstensif, akan dibedakan antara chondroid chordoma subtype dengan conventional chordoma. Jarang sekali chordoma bertransformasi menjadi malignant, yang selanjutnya disebut sebagai dedifferentiated chordoma. Pada subtype ini gambaran sarcomatous yang predominan dengan malignant spindle cell, sel-selnya lebih banyak atipia, dan meningkatnya mitotic index. Secara immunohistokimia, chordoma reaktif terhadap epithelial membrane antigen, cytokeratin, α-fetoprotein, dan jarang, S-100.













Presentasi Klinis
                Bergantung pada lokasi dan ukuran tumor, pasien dapat saja mengeluh :
·         Nyeri, lokal maupun radikuler
·         Gangguan sphincter, konstipasi
·         Benjolan

Radiologis
                Untuk chordoma pada cranial, CT Scan dan MRI memberikan peranan yang saling melengkapi satu sama lain dalam mengevaluasi chordoma. CT Scan memberikan gambaran keterlibatan tulang atau destruksi tulang dan untuk mendeteksi pola kalsifikasi di dalam lesi, sedangkan MRI memberikan analisa tiga dimensi yang sangat baik terhadap struktur jaringan otak di sekitar lesi (batang otak, sella tursica, sinus cavernosus, struktur neurovaskuler). Tetapi, MRI tidak dapat menggambarkan kalsifikasi dan kejelasan keterlibatan proses osteolisis di skull base sebaik CT Scan, terutama gambaran skull base foramina1.
Sama halnya dengan spinal chordoma, CT Scan dan MRI saling melengkapi. Tetapi sebagai keuntungan tambahan, untuk menganalisa daerah yang luas (misalnya sepanjang spinal axis dan root), lebih baik menggunakan MRI dibandingkan dengan CT Scan.
                Untuk gambaran radiologis, chordoma dan chondrosarcoma kadang sangat sulit dibedakan satu sama lain, kecuali bahwa chondrosarcoma cenderung tumbuh dari lokasi paramedian dan chordoma biasanya selalu ditemukan sepanjang atau dekat dengan midline6. Gambaran lokasi ini tidak bisa dijadikan pegangan apabila tumor sudah ditemukan tumbuh asimetris dan cukup besar ukurannya.

Foto Polos
Chordoma memberikan 4 karakteristik patognomonic pada evaluasi dengan foto polos :
·         - Ekspansi tulang
·         - Rarefaction
·         - Trabeculation
·         - Calcification
Gambaran radiologis umumnya menunjukan proses litik, dengan banyak ditemukan kalsifikasi atau sequetrasi fragmen tulang. Tetapi pada evaluasi radiologis dengan foto polos tidak menunjukan sensitifitas atau spesifitas pada chordoma. Karenanya dibutuhkan pemeriksaan radiologis lain.


CT Scan
                CT Scan merupakan modalitas esensial karena sensitifitasnya, dan akurat dalam menilai integritas tulang, bone destruction, dan kalsifikasi atau fragmen tulang di dalam lesi. Pada pemeriksaan CT Scan tanpa kontras akan memberikan gambaran slight hiperdense yang homogen sebanding dengan densitas yang mirip dengan otot, dan ditemukan kalsifikasi dalam jumlah yang bervariasi. Kalsifikasi ditemukan kurang dari 50% pasien, dan sulit membedakannya dengan sequestered bone fragment. Pada bone windows sering memberikan gambaran bony erosion yang signifikan. Pada pemberian kontras akan memberikan penyangatan yang heterogen.

§  Sacrococcygeal chordoma
Sacrococcygeal chordoma sering terlihat massif, berbatas tegas yang menggeser jaringan lemak dari pelvis dan melibatkan struktur tulang dan daerah epidural. Peripheral sclerosis ditemukan hampir sekitar 50% pasien, dan sering didapatkan batas yang jelas antara komponen soft tissue dan daerah tulang yang terlibat. Sering juga ditemukan KGB regional terinvasi tumor. Tanda pasti adanya sacral chordoma yaitu adanya destruksi beberapa vertebra sacral yang berhubungan dengan massa, anterior dari sacrum. Tetapi, apabila ditemukan hubungan antara lesi osteolitik dan massa lunak yang melibatkan discus dan vertebra bias disebabkan karena neurofibroma, lymphoma, metastasis, dan plasmacytoma.

§  Spinal chordoma
Walaupun jarang ditemukan, chordoma dapat timbul pada mobile spine (misalnya di cervical, thorakal atau lumbal) sekitar 15%. Cervical spine merupakan lokasi tersering pada chordoma, dengan predominance pada C2; sedangkan thorakal dan lumbal lebih jarang lagi ditemukan. Awalnya, gambaran chordoma pada CT Scan ditemukan destruksi tulang yang berada di tengah corpus vertebra, yang mendestruksi kea rah anterior atau lateral corpus, hingga dapat mencapai paraspinal soft tissue, yang dapat mengandung kalsifikasi. Setelah corpus vertebra terlibat, akan mendestruksi pedicle, laminae, dan processus spinalis; tetapi discus intervertebralis walaupun dekat biasanya tidak terdestruksi. Chordoma yang terjadi di atas sacrum biasanya berasal dari single vertebral body, awalnya memberikan perubahan litik dan akhirnya mengakibatkan vertebral collapse. Kadang kala, vertebra yang berdekatan akan destruksi dengan discus yang masih baik. Ekstensi epidural dari tumor juga sering ditemukan. Massa terbesar tumor biasanya terletak anterior dari vertebra. Berikut gambaran chordoma pada CT Scan8.



MR - Imaging
                MRI memberikan informasi multiplane yang detail, dengan gambaran yang jelas antara tumor dan struktur anatomi disekitarnya. Pada MRI, sacrococcygeal chordoma akan terlihat lobulated, biasanya pada T1-WI akan memberikan gambaran isointense hingga hipointense. Kadang pada T1-WI ditemukan gambaran hiperintense yang berhubungan dengan adanya perdarahan dan koleksi musin.
Pada T2-WI, akan memberikan gambaran hiperintense, tetapi dapat saja intensitas sinyalnya heterogen karena adanya kalsifikasi dan sequestrasi tulang. Dengan pemberian kontras (Gadolinum) akan memberikan penyangatan yang heterogen, kadang memberikan honeycomb appearance dengan sinyal hipointense di dalam daerah tumor.
Untuk sacrococcygeal chordoma, ekstensi tumor sangatlah penting untuk dipastikan pada saat perencanaan preoperatif, dengan memperhatikan ekstensinya sebagai berikut8 :
§  Proximal extension         – Tulang dan sacral canal
§  Distal-lateral extension   – Gluteus maximus, harmstring, dan nervus dan notch sciaticus
§  Anterior extension         – Retroperitoneal lymph node dan rectum
§  Posterior extension        – Subcutaneous fat


Differential Diagnosis
                Untuk differential diagnosis pada malignant primary osseus spinal neoplasm, dari sebuah penelitian multicenter selama 3 dekade (1973 – 2003) didapatkan9 :
·         Chondrosarcoma (30,6%)
·         Ewing sarcoma (24,8%)
·         Osteosarcoma (22,7%)
·         Chordoma (21,9%)

Chordoma - Bagian 1



Pendahuluan
                Chordoma merupakan tumor primer yang jarang ditemukan, tumbuh lambat tetapi bersifat locally aggressive yang berasal dari residual rest sel-sel notochord sepanjang axis craniospinal. Tumor ini relatif tidak sensitif terhadap radioterapi dan kemoterapi. Konsekuensinya, pembedahan menjadi modalitas terapi primer terhadap tumor ini, dan complete resection, terutama pada sacral chordoma, berhubungan dengan meningkatnya survival time. Pada referat ini akan dibatasi mengenai chordoma pada spine saja.

Latar Belakang Sejarah
                Virchow pertama kali menggambarkan nodul kecil di sepanjang clivus pada tahun 1846 dan kemudian menamakannya "ecchondrosis physaliphora" pada tahun 1857 karena ia berhipotesis tumor ini berasal dari kartilago. Setahun berikutnya, Luschka, Benker, dan Hasse  menggambarkan nodul yang mirip. Tahun yang sama, Muller mempostulasikan bahwa ecchondrosis physaliphora berasal dari notochord. Tahun 1894, Ribbert mengemukakan istilah “chordoma” dan mempresentasikan kasus yang mendukung hipotesis Muller. Setahun kemudian, Ribbert bereksperimen dengan menginduksi chordoma pada kelinci dengan cara memperforasi ligament anterior intervertebral. Pada tahun 1909, Harvey Cushing melaporkan tumor removal chordoma (yang awalnya diduga sebagai teratoma) pada seorang pasien berumur 35 tahun (walaupun pasien ini meninggal 6 bulan setelah direoperasi)1.

Epidemiologi
                Chordoma adalah tumor yang jarang, tumbuh lambat yang dipercaya berasal dari sisa sel-sel vestigial notochord. Presentasinya mencapai 0,2% dari seluruh tumor SSP, dan hanya 1% - 4% dari tumor primer tulang dengan age-adjusted incidence rate mencapai 0,08 per 100.000 pasien per tahun. Akan terjadi kenaikan insidensinya 2 x lipat lebih besar pada laki-laki dan 5 x lipat insidensinya pada populasi kulit putih. Bila melihat dari seluruh lokasinya, perbandingan laki-laki : wanita mencapai 2:1. Peak incidence terjadi pada dekade 8, dan pertumbuhan chordoma jarang ditemukan sebelum umur 40 tahun. Berdasarkan penelitian multicenter, dari lokasi anatomis ditemukan yaitu pada spheno-occipital region (32%), mobile spine (32,8%), dan sacrum (29,2%)2. Pada penelitian terdahulu diperkirakan sacral chordoma mencapai 50% kasus, 35% merupakan cranial chordoma, dan 15% spinal chordoma diluar sacrum3. Pada sebuah studi didapatkan, usia rata-rata saat didiagnosis pada semua pasien chordoma yaitu 56 tahun, dengan rentang usia 27-80 tahun. Bila dilihat dari lokasinya, usia rata-rata untuk intracranial chordoma yaitu 48 tahun dan terbanyak berada di sphenoccipital. Untuk sacrococcygeal chordoma usia rata-rata yaitu 56 tahun. Sedangkan spinal chordoma selain sacrococcygeal usia rata-ratanya 46 tahun4.

Etiologi
                Chordoma diduga berasal dari sisa notochord primitive (primitive notochordal remnant) di sepanjang axial skeleton. Selama perkembangan embrio, notochord akan dikelilingi oleh columna vertebralis yang sedang berkembang. Pada perkembangannya, notochord nanti akan menjadi nucleus pulposus dari intervertebral disc. Notochordal remnant ekstradura sering ditemukan pada daerah sacrococcygeal tetapi dapat juga ditemukan sepanjang axial skeleton. Distribusi tumor chordoma sebanding dengan distribusi remnant notochord ini.
Notochord sendiri adalah struktur yang lestari secara evolusi (evolutionary conserved structure), karenanya diistilahkan Chordata, yang berasal dari perkembangan dini embrio di daerah dorsal. Notochord memerankan peranan penting pada banyak aspek perkembangan, seperti menentukan axis dorsal-ventral dari neural tube (melalui sekresi sonic hedgehoc homologue [SHH] gene product), menentukan ke-asimetris-an kanan-kiri, dan takdir arterial-versus-venous dari pembuluh darah primitif. Notochord terdiri dari sel-sel yang kaya akan vakuola (highly vacuolated cells – disebut juga physaliphorous cells) yang mengandung hydrated protein matrix dan dikelilingi oleh basement membrane yang tebal. Protein matrix ini menyerap air, yang menyebabkan sel-selnya menjadi bengkak dan memberikan tekanan pada basement membrane. Akibat proses ini, notochord memberikan struktur support terhadapa embrio yang sedang berkembang1. Pada hewan yang mempunyai tulang belakang, notchord tidak berinvolusi sebagaimana struktur disekitarnya seperti somite yang akan membentuk vertebral body. Beberapa sel notochord akan menetap dan membentuk nucleus pulposus dari intervertebral disc, sedangkan sisanya akan “beristirahat” di dalam clivus, sacrum, dan vertebra. Hubungan antara kesemua cellular rest ini dan perkembangan dari chordoma sangatlah kompleks. Sepanjang dorsal clivus, sebagai contoh, sekitar 2% dari populasi, berdasarkan hasil otopsi, didapatkan benign growth dari ecchordosis physaliphora (ecchondrosis of Virchow). Sangat jarang ditemukan, tumor ini dapat tumbuh besar dan menjadi symptomatic giant ecchordosis atau intradural  benign  chordomas. Tumor-tumor ini secara immunohistokimia berbeda dari fetal notochord rest. Namun, apakah semua chordoma berasal dari benign tumor precursor tidak diketahui.

                Beberapa chordoma dikaitkan perkembangannya secara genetik. Tetapi, hampir semua berkaitan dengan complex karyotype yang abnormal, antara lain hilangnya semua atau sebagian dari kromosom 3, 4, 10 dan 13, tambahan pada kromosom 7, dan rearrangement dari kromosom 1p5. Kesemuanya berhubungan dengan pathogenesis dari chordoma. Juga, telah dilaporkan adanya ketidakstabilan microsatellite akibat dari DNA mismatch repair deficiency, tetapi tidak ditemukan bukti adanya chordoma-specific translocation.

Cytogenetic1
                Sejumlah studi tentang cytogenetic chordoma telah dipublikasikan. Penyebab umum kromosom yang abnormal yang sudah diidentifikasi yaitu monosomi kromosom 1 dan gain kromosom 7. Kelainan kromosom lain yang juga telah diteliti (baik loss atau gain) melibatkan 1q, 2p, 3p, Sp, 9p, 10, 12 q, 13q, 17, dan 20q. Penelitian terbaru menyebutkan bahwa abnormalitas pada region 6p32 mempunyai hubungan spesifik dengan genesis dari chordoma (dibandingkan dengan progresi atau rekurensi). Walaupun kebanyakan chordoma merupakan sporadic origin, case report adanya potensi garis keturunan keluarga dengan chordoma telah banyak dipublikasikan. Pada studi ini menunjukan tidak ada konsistensi perubahan cytogenetic dengan heterogenitas pada kasus sporadic. Sampai saat ini, tidak ada gambaran cytogenetic yang konsisten dalam memprediksi tumor biology atau respon terhadap terapi7.
                Dari tampilan ketidakstabilan genetik tumor ini, memberikan kemungkinan dikembangkannya intervensi kemoterapi. Sayangnya, keberhasilan identifikasi dan penggunaan agen kemoterapi yang tepat masih membutuhkan waktu yang panjang.

Kamis, 26 April 2012

Retrolabyrinthine Approach - Bag. 2


Planning dan Positioning
·        Pasien diposisikan semilateral, dengan ganjal bahu di ipsilateral lesi.
·        Kepala lalu difiksasi dengan Mayfield head holder dengan dua pin diletakan pada occipital jauh dari midline. Satu pin diletakan pada dahi ipsilateral, lateral dari mid-pupillary line, idealnya di belakang garis rambut.
·        Setelah pin dipasang, kepala diposisikan sehingga daerah yang berada tepat di belakang pinna berada superior dari mastoid process dan menjadi titik tertinggi dari kepala pasien. Dengan elevasi bahu ipsilateral yang adekuat, posisi ini akan tercapai dengan merotasi kepala sedikit ke kontralateral, flkesi leher minimal, dan elevasi kepala.



Prosedur
·        Kulit diincisi C-shaped dengan konvex portion dari “C” menghadap posterior. Upper limb dari incise dimulai tepat superior dari pinna. Ketinggian superior limb ini dapat diperkirakan dengan menggambar garis dari zygomatic arch ke inion dan permulaan dari upper limb tepat di atas exernal auditory canal sepanjang garis ini, dimana sebaiknya berpotongan dengan linea temporalis. Incisi berakhir tepat inferior dan anterior dari mastoid tip. Apex dari “C” sebaiknya cukup jauh ke belakang untuk dapat mengekspos seluruh dari asterior, yang berada di sepertiga dari pinna ke inion.


·        Soft tissue lalu dielevasi dan diidentifikasi untuk kepentingan landmark. Setelah diincisi, scalp lalu dipisahkan dari lapisan pericranium dibawahnya dan dielevasi ke anterior. Pericranial flap lalu diflap ke anterior. Diseksi soft tissue sebaiknya dilakukan ke arah anterior sampai external auditory canal dapat terpalpasi. Ketika mastoid process telah terekspos, perlekatan otot sternocleidomastoid dan splenius capitus dipisahkan secara partial dari mastoid tip hingga tulang terlihat lengkungannya ke arah medial.


·        Mastoidectomy dilakukan berbentuk segitiga dengan curvilinear hypotenuse tepat posterior dari external auditory canal. Superior limb dari segitiga berada parallel dan inferior dari linea temporalis mulai tepat posterior dari zygomatic root ke tepat posterior dari asterion. Anterior limb segitiga berada mulai dari titik anteriormost inferior dari superior limb , mengikuti kurva dari external auditory canal, berakhir di inferior dari mastoid tip. Posterior limb segitiga, mulai dari asterior ke mastoid tip. Landmark yang penting yaitu spine of Henle, tepat posterior dan superior dari external meatus. Titik ini secara kasar merupakan landmark mastoid antrum dimana semicircular canal dan facial nerve berada.


·        Prosedur berikutnya yaitu delineation sinodural angle. Setelah ekspos dari sinus dan dura, epitympanum diekspos dengan drill bermata bor diamond. Bony labyrinth yang menutupi semicircular canal di-skeletonized secara hati-hati tanpa mencederai semicircular canal. Ketika batas-batas dari labyrinth telah ter-delineasi, retrolabyrinthine bone removal lalu dilanjutkan secara aman hingga sinodural angle teridentifikasi dan duramater middlesigmoid dan presigmoid yang berdekatan terekspos luas hingga sinodural angle (of Citelli).


·        Prosedur delineation fallopian canal. Ekspos yang adekuat pada approach ini memerlukan ekspos duramater presigmoid hingga mencapai jugular bulb. Vertical portion dari facial nerve berada di jugular bulb dan dura pada daerah ini. Fallopian canal diidentifikasi anterior dan inferior dari bony labyrinthine di epitympanum. Ketika sudah teridentifikasi, fallopian canal lalu di-skeletonized dengan diamond drill, terutama pada permukaan yang lebih dalam dengan drilling mengarah dari rostral ke caudal, hingga jugular bulb teridentifikasi. Drilling tulang dapat dilanjutkan hingga batas anteroinferior dimana terletak facial nerve dibawahnya.



·        Incisi dura. Duramater diincisi berbentuk C-shape di sekitar epitympanum dengan dasar tengahnya mengarah ke labyrinth. Sangat penting untuk dapat menidentifikasi endolymphatic sac dan pada saat melakukan dural flap sehingga aliran endolymphatic tidak terganggu. Tergantung pada tujuan pembedahan, superior petrosal sinus dapat dikorbankan sebagai bagian dari tentorial division,dan dura di fossa media dapat dibuka untuk mendapatkan visualisasi dari apex petrous, incisura tentorium atau dasar dari fossa media.



Hal yang perlu diperhatikan
·        Akan banyak ditemukan mastoid emissary veins selama proses diseksi, dan ketika mendapatkan perdarahan dari salah satu vena ini, lebih baik lanjutkan diseksi hingga selesai dan tidak menemukan lagi mastoid emissary veins sebelum menghentikan perdarahan dengan bone wax.
·        Drilling sebaiknya dimulai dengan large cutting bur dan kemudian dilanjutkan dengan menggunakan diamond bur untuk mencegah cedera terhadap facial nerve dan sigmoid sinus apabila struktur ini sudah terlihat.
·        Ukuran mata drill yang terbesar sebaiknya yang digunakan pada saat drilling karena ukuran yang besar lebih aman dan mencegah kerusakan apabila mengenai struktur pembuluh darah atau saraf dibandingkan menggunakan mata drill berukuran kecil.
·        Perhatikan pada saat memposisikan kepala, untuk mencegah kinking dari jugular vein kontralateral.
·        Pada saat diseksi soft tissue, hindari diseksi sampai masuk ke external auditory canal.

Referensi
1.       Sughrue ME, Parsa AT. Retrolabyrinthine approach in Core Techniques in Operative Neurosurgery.  Edited by Rahul J, Paul CM, Peter MB. Elsevier Saunders, Philadelphia, page 122-128, 2011
2.       Jumani KT, Banerjee A. Management options for skull base/petrous apex lesions in Journal of ENT MasterclassYear Book 2008 Vol. 1 No. 1, page 38-44, 2008
3.       Bambakidis N, Fernandogonzalez L, Amin-Hanjani S, Deshmukh VR, Porter RW, Daspit PC, Spetzler AS, Combined skull base approaches to the posterior fossa, A Technical note, Neurosurg Focus 19 (2):E8, page 1-9, 2005
4.       Russell SM, Roland JT, Golfinos JG, Retrolabyrinthine Craniectomy: The unsung hero of skull base surgery, Skull Base: An Interdisciplinary Approach / Volume 14, Number 1, page 63-71, 2004

Yuk, kita nge-GOWES

Ane baru dapet hobby baru nih, ngikutin jejak para cycler mania....
Yuk, kita nge-gowes teman-teman!!!
Tapi buat newbie kayak ane, baiknya musti kenal dulu dari awal tentang sepeda itu sendiri. Nih dia anatomi sepeda secara ringkasnya.



Nah, gimana temen2 semua, daripada pusing mikirin harga BBM yang naik, yuk kita ngegowes aja!!
Selain ngurangin kebutuhan kantong buat beli BBM, badan pun jadi SEHAT!!
Satu lagi, yang penting SEPEDAAN-NYA, bukan SEPEDA-NYA !!
YUK KITA NGEGOWES....

Retrolabyrinthine Approach - Bag. 1


Pendahuluan
            Approach tradisional ke fossa posterior tidak memungkinkan akses langsung ke lokasi kompleks lesi baik di lateral skull base, cerebellopontine angle (CPA), atau clivus. Untuk mengurangi retraksi otak dan memungkinkan complete resection, banyak approach yang dikembangkan dari arah lateral dan anterior brain stem dan cerebellum. Semua approach ini merrupakan kombinasi dan variasi dari transtemporal bone route. Tidak seperti craniotomy di lokasi lain, titik masuk ke fossa posterior melalui tulang temporal mempunyai masalah khusus bagi pembedah jika internal carotid artery (ICA), sigmoid sinus (SS), cranial nerves VII dan VIII, dan struktur khusus untuk pendengaran dan keseimbangan, akan dipertahankan. Walaupun banyak istilah nomenclature dari approach ini, hanya sedikit beberapa yang membedakan diantaranya. Pilihan approach diambil berdasarkan pada lokasi, tipe, dan perluasan dari lesi. Approach yang terbaik ke arah lesi harus berdasarkan pada approach standar yang direkomendasikan sehingga meminimalkan cedera terhadap struktur normal. Berdasarkan inilah, transtemporal approach menggambarkan diseksi anatomis yang saling berhubungan, dengan sedikit perbedaan satu sama lain antara masing-masing approach. Karenanya disarankan untuk saling bekerjasama antara neurosurgeon dan otologist. Pada artikel ini hanya akan dibahas retolabyrinthine approach.

Retrolabyrinthine approach
Terdapat tiga jenis retrolabyrinthine approach (Vrionis FD, 2006) :
  • Presigmoid approach
  • Transsigmoid approach
  • Retrosigmoid (Suboccipital) approach

Presigmoid approach
            Retrolabyrinthine presigmoid approach pertama kali diperkenalkan oleh Hitselberger dan Pulec pada tahun 1972, dan dipopulerkan oleh Silverstein dan Norrel pada tahun 1977 dan House et al. pada tahun 1984. Approach ini dilakukan melalui mastoid air cell, dengan elevasi dural flap diantara labyrinth dan sinus sigmoid. Konsep dari prosedur ini berdasarkan arah masuk ke CPA anterior dari SS, sehingga mengurangi retraksi cerebellar. Awalnya digunakan untuk partial sectioning dari serabut saraf sensoris nerve V pada kasus trigeminal neuralgia. Juga dapat digunakan pada selective sectioning vestibular divison dari cranial nerve VIII pada penanganan vertigo dan endolymphatic duct surgery. Dapat pula digunakan, pada kasus tertentu, untuk mereseksi tumor acoustic berukuran kecil dimana fungsi pendengaran masih tetap dipertahankan.
Keuntungan utama pada approach ini yaitu memberikan akses langsung ke CPA tanpa mengorbankan fungsi pendengaran dan retraksi cerebellar yang minimal. Kerugiannya yaitu ekspos yang terbatas, yang bisa diperluas dengan meretraksi sinus sigmoid atau mastoid air space (crowded mastoid).

Transsigmoid approach
            Approach ini dapat digunakan sebagai bagian dari posterior transpetrosal approach. Eksposure dapat diperluas dengan meligasi sinus sigmoid, biasanya diantara superior dan inferior sinus petrosus atau diantara superior anastomotic vein (vein of LabbĂ©) dan superior petrosal sinus. Karenanya superior anastomotic vein akan mendrainage secara retrograde ke dalam tranverse sinus dan ke dalam jugular system kontralateral. Preoperative angiogram atau MR venogram sangat esensial untuk memastikan patensi dari torcular. Secara umum, sinus nondominan dengan adanya torcular yang paten dapat dikorbankan pada kasus selektif. Temporary clipping pada sinus sigmoid direkomendasikan untuk meng-asses kemungkinan timbulnya temporal lobe atau cerebellar swelling. Sinus sigmoid dapat dibuka dan di-pack dengan Surgicel dan lumennya kemudian disuture, atau dapat diligasi dan diclip. Penelitian pada cadaver dan angiografi menunjukan bahwa insidensi dari unilateral transverse sinus sangat jarang (2,5%), dan absence dari hubungan ke torcular bahkan lebih jarang. Walaupun begitu, kemungkinan buruk dari meligasi unilateral sinus sigmoid, preoperative angiogram atau MR venogram sangat direkomendasikan.

Retrosigmoid approach
            Retrosigmoid approach, juga dikenal sebagai lateral suboccipital approach, bukanlah true transtemporal approach. Approach ini sangat familiar bagi neurosurgeon dan approach tradisional untuk reseksi tumor didaerah CPA. Approach ini memberikan arah masuk yang luas ke fossa posterior dengan maksimal eksposure terhadap tumor seperti misalnya pada vestibular schwannoma. Dengan approach ini, struktur neurovascular dari temporal bone dapat dihindari meskipun harus meretraksi cerebellum. Perkembangan teknik monitoring menggunakan metoda evoked-response telah meningkatkan praktek dari approach ini.

Translabyrinthine Approach
            Pertama kali diperkenalkan pada tahun 1904 oleh Panse, yang mengatakan bahwa approach ini adalah yang terpendek untuk mencapai CPA. Pada tahun 1961, William House melakukan middle fossa approach untuk mereseksi vestibular schwannoma yang berlokasi lateral di dalam IAC dengan ekstensi minimal ke CPA. Karena terbatasnya eksposure, insidensi facial paresis, retraksi lobus temporal, dan terbatasnya pengontrolan terhadap struktur vascular, House memperkenalkan translabyrinthine approach untuk reseksi vestibular schwannoma. Approach ini lebih ke lateral dan memberikan kontrol langsung dari facial nerve dengan men-drill melalui labyrinth. House menyatakan bahwa vertical crest (Bill’s bar) di lateral end dari IAC sebagai landmark. Perbedaan antara superior dan inferior vestbular nerve akan mudah terlihat pada approach ini.
            Variasi dari translabyrinthine approach antara lain lebih mengekspos sinus sigmoid dengan mobilisasi dari jugular bulb, men-drilling infralabyrinthine air cells untuk memperluas akses pada tumor yang berukuran besar. Kemungkinan untuk mempreservasi fungsi pendengaran masih memungkinkan dengan approach ini, walaupun telah mengablasi semua ketiga semicircular canal dengan preservasi dari cochlea dan saccula, namun dengan fungsi pendengaran yang agak menurun. Variasi lain dari translabyrinthine approach yaitu dengan menambahkan suboccipital approach dengan partial labyrinthectomy, sehingga hanya menyisakan visualisasi dari Bill’s bar dan lateral IAC.
            Salah satu keuntungan dari translabyrinthine approach dibandingkan dengan middle fossa approach yaitu setelah men-drilling labyrinth, tumor akan langsung terlihat bersama dengan superior dan inferior vestibular nerve. Dan karena facial nerve terletak di anterior, akan menjadi terlindungi. Sebaliknya pada middle fossa approach,facial nerve akan berada di bawah dura. Keuntungan approach ini dibandingkan suboccipital approach yaitu minimalnya retraksi cerebellar, sehingga untuk tumor berukuran besar dan reseksi tumor diperkirakan akan memakan waktu lama, postoperatif cerebellar edema, hematoma atau infark akan minimal. Kerugian pada approach ini yaitu tambahan waktu operasi dalam melakukan labyrinthectomy dan rusaknya fungsi pendengaran.

Indikasi Translabyrinthine Approach
            Tujuan dari translabyrinthine approach yaitu mengekspos IAC dan CPA melalui labyrinth tanpa memasuki middle ear. Tumor berukuran besar yang menempati IAC dan CPA dapat dicapai dengan approach ini. Karenanya fungsi pendengaran dan keseimbangan akan dikorbankan. Sehingga approach ini diindikasikan hanya pada vestibular schwannoma yang fungsi pendengarannya tidak mungkin kembali (speech reception treshold > 50 db dan speech discrimination score < 50%). Approach ini ideal untuk vestibular neurectomy untuk intractable vertigo ketika fungsi pendengaran telah hilang. Untuk pasien dengan fungsi pendengaran yang normal, approach ini dikontraindikasikan.

Infralabyrinthine Approach
Pada tahun 1985, Gherini et al. memperkenalkan infralabyrinthine approach untuk surgical management pada cholesterol granuloma yang berlokasi di petrous apex dan CPA. Tujuan approach ini untuk mempermudah akses ke arah petrous apex yang berada inferior dari labyrinth. Approach ini juga dapat digabungkan dengan suboccipital approach untuk reseksi meningioma di petrous ridge dengan ekstensi ke dalam temporal bone, tetapi tidak mengenai labyrinth, sehingga fungsi pendengaran masih dapat dipreservasi.

Komplikasi dan Kerugian
            Jika jugular bulb berada pada posisi yang tinggi, akses di bawah labyrinth dan di atas jugular bulb menjadi terbatas. Evaluasi preoperatif yang baik menggunakan CT dengan resolusi tinggi sangat berguna. Pengukuran jarak antara labyrinth dan jugular bulb pada potongan coronal akan sangat berguna; dimana jarak kurang dari 1 cm akan memberikan keterbatasan akses untuk dapat mencapai total reseksi, sehingga disarankan menggunakan approach lain (misal transcanal-infracochlear).
            Komplikasi yang dapat timbul antara lain cedera terhadap facial nerve, carotid artery, jugular bulb, dan labyrinth. Pada kasus cholesterol granuloma, dapat menimbulkan scar dan granuloma-nya sendiri dapat rekuren.

Korelasi Anatomi - External Cranial Landmarks
Untuk mencapai optimal exposure dari mastoid region pada retrolabyrinthine approach, surgeon harus dapat menentukan lokasi dari incisi dengan mempalpasi external osseus landmark (Figure 1A). External acoustic meatus, zygomatic arch, external occipital protuberance (inion), dan mastoid process harus teridentifikasi. Garis khayal yang melintang dari zygoma ke inion akan melewati tepat superior dari external acoustic meatus dan memotong, berturut-turut, linea temporalis (supramastoid crest), asterior, dan superior nuchal line. Linea temporalis, tonjolan tulang yang berasal dari root zygoma, berjalan hampir paralel terhadap zygomatic arch hingga ke asterior. Supramastoid crest ini menandakan batas superior dari tulang mastoid dan menjadi lantai dari fossa media. Perpanjangan ke posterior dari linea temporalis berhubungan dengan aspek posterior terluar dari mastoid body. Asterior merupakan landmark dari transverse-sigmoid junction dan merupakan pertemuan dari tiga sutura: lambdoid, parietomastoid, dan occipitomastoid. Superior nuchal line menjadi landmark dari sinus transversus dan menjadi origo dari cervical muscle ke occiput.
            Mastoid emissary vein biasanya mulai ada sekitar 1 cm inferior dari asterion dan sedikit ke anterior dari sutura occipitomastoid. Vena ini menghubungkan sinus sigmoid dengan cutaneous venous plexus dan dapat menjadi sumber perdarahan dan berpotensi menyebabkan emboli udara jika terobek.
            Ketika fascia, sternocleidomastoid muscle dan splenius capitus muscles yang melekat di mastoid tip telah dibebaskan, seluruh landmark tulang harus diidentifikasi sebelum mastoidectomy dilakukan. Landmark yang harus diidentifikasi yaitu root zygoma, external auditory meatus, linea temporalis, mastoid emissary foramen, asterior, dan spine of Henle (Figure 1B). Spine of Henle, atau suprameatal spine, adalah small horizontal ridge tulang yang terletak di posterior-superior rim dari external auditory meatus. Landmark ini bersama cribrose area, menjadi jalur ke mastoid antrum, yang terletak sekitar 15 mm ke dalam dari spine of Henle.
            Ketika semua struktur telah terekspos dan dura dibuka, akan terlihat brain stem dimana origin dan cisternal segmen dari VII-VIII cranial nerve complex akan terlihat di cerebellopontine angle. Loop dari anterior inferior cerebellar atery (AICA) kadang dapat ditemukan bersama-sama dengan complex saraf ini.



Indikasi
·        Retrolabyrinthine approach adalah approach yang mempreservasi fungsi pendengaran dengan cara melakukan mastoidectomy dan skletonization dari sinus sigmoid untuk mengekspos presigmoid duramater dibelakang canalis semicircular.
·        Prinsip utama dari approach ini yaitu kemampuannya untuk mengekspos secara luar permukaan dari posterior petrous dan cisternal portion dari cranial nerve VII dan VIII dengan retraksi minimal dari cerebellum.
·        Retrolabyrinthine approach biasanya digunakan untuk mengidentifikasi dan mengekspos superior petrosal sinus, sebagai langkah pertama untuk mengenali bagian tentorium.
·        Biasanya digunakan untuk tumor-tumor di daerah CPA dan petrous ridge posterior, vestibular neuronectomy, partial section dari sensory root trigimenal nerve, fenestrasi symptomatic arachnoid cyst, dan biopsi lesi brain stem.

Kontraindikasi
Approach ini tidak dapat mengakses internal auditory canal atau apex petrous secara langsung karena interposisi struktur labyrinthine dan cochlear.

Bersambung ke Bagian 2



Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More