This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 03 Juni 2013

Patofisiologi Spinal Arteriovenous Lesion

Spinal arteriovenous lesion dapat menimbulkan gejala yang berhubungan dengan myelopathy (defisit dari sensorik dan motorik, bladder dan bowel dysfunction), nyeri radikular atau defisit radikular, back pain, atau deformitas dari columna spinalis. Perdarahan, venous hypertension, arterial steal, dan efek massa merupakan mekanisme yang mungkin sehingga terjadinya kerusakan spinal cord, dan mekanisme ini berbeda pada setiap lesi. Perdarahan dapat terjadi pada parenkim spinal cord dan/atau subarachnoid space, sehingga onset defisit neurologis yang terjadi akut. Resiko perdarahan lebih tinggi terjadi pada spinal cord AVM. Large spinal cord AVF dan giant spinal cord AVF, cervical DAVF, dan intracranial DAVF dengan perimedullary venous drainage dapat juga terjadi perdarahan, tetapi small spinal cord AVF dan thoracic atau lumbal DAVF jarang sekali terjadi perdarahan.4,5 Spinal artery aneurysma dan intranidal aneurysma mempunyai resiko yang tinggi terjadi perdarahan.6 Sedangkan spinal AVM yang mempunyai intracranial venous drainage, sangat jarang ditemukan perdarahan intracranial.7 Venous hypertension biasanya berhubungan erat dengan arteriovenous lesion dengan perimedullary venous drainage.

         Lesi klasik yang berhubungan dengan venous hypertension yaitu spinal DAVF, tetapi fenomena ini dapat juga ditemukan pada semua lesi yang mempunyai perimedullary venous drainage, seperti pial AVF pada spinal cord atau beberapa intracranial dural AVF. Tekanan pada vena preimedullary secara abnormal akan meningkat akibat direct arteriovenous shunt, dan peningkatan tekanan ini akan ditransmisikan ke vena intrinsic spinal cord akibat tidak adanya valve, sehingga timbullah “arterialization” dari vena-vena intrinsik ini, lalu terjadilah penebalan serta tortuous dari dinding vena, penurunan gradien intramedullary arteriovenous pressure, penurunan tissue perfusion, dan berujung pada hipoxia spinal cord.8 Sebagai tambahan, hilangnya autoregulasi dari pembuluh darah intrinsic akan berakibat edema spinal cord dan terganggunya blood-cord barrier.9 Karena conus medullaris adalah bagian terendah dari spine pada posisi berdiri, venous hypertension biasanya timbul di daerah ini, ditambah lagi tidak adanya sistem katup pada vena. Tekanan di draining vein berubah seiring tekanan pada arterial, sehingga akan timbul gejala bila penderita melakukan gerakan. Venous hypertension dapat dikonfirmasi dengan angiografi melalui arteri Adamkiewicz dimana akan menunjukan prolong yang cukup lama pada venous phase.10 Lesi dengan high-flow arteriovenous shunt dapat menyebabkan fenomena stealing arterial dari jaringan spinal cord normal di sekitarnya.11 Lesi pada aspek dorsal yang diperdarahi anterior spinal arteri juga rentan terhadap fenomena steal ini, dikarenakan adanya potensi yang rendah dari kolateral arteri. Efek massa jarang menjadi mekanisme yang menyebabkan myelopathy. Large aneurysma12 dan large dilated vein/varices yang dapat ditemui pada giant spinal cord AVF dapat menekan spinal cord ataupun nerve root.

Presentasi Klinis
     85% pasien datang dengan presentasi klinis defisit neurologis (back pain yang berhubungan dengan progresif sensitif loss dan kelemahan anggota gerak bawah bulan hingga tahun). Tetapi, spinal vascular malformation (SVM) hanya menenmpati < 5% lesi yang menunjukan suatu spinal cord “tumor”. 10-20% SVM datang dengan keluhan sudden onset myelopathy, terutama pada pasien yang berumur < 30 tahun., sekunder dari perdarahan (yang menyebabkan sub arachnoid hemorrhage, hematomyelia, epidural hematoma, atau watershed infarction). Coup de poignard of Michon = sudden excruciating back pain dengan SAH (tanda klinis adanya SVM)
       Foix-Alajouanine syndrome (subacute necrotic myelopathy) yaitu suatu acute atau subacute penurunan neurologis pada pasien dengan SVM tanpa adanya tanda perdarahan. Presentasi klinisnya berupa spastic hingga flaccid paraplegia, dengan ascending sensory level loss dan hilangnya sphinchter control. Awalnya diduga sebagai spontaneous thrombosis AVM yang menyebabkan subacute necrotizing myelopathy dan tidak reversible. Walaupun begitu, data terbaru menyebutkan bahwa myelopathy diduga karena venous hypertension dengan secondary ischemia, dan mungkin terdapat perbaikan tanpa dilakukan terapi.
         Dengan pemeriksaan auskultasi di daerah spine akan didapatkan bruit pada 2-3% kasus. Cutaneous angioma di daerah spine ditemukan pada 3-25%; valsava maneuver dapat memberikan penambahan kemerahan dari angiomanya.

Evaluasi Spinal Vascular Malformation
              Spinal angiografi sangat dibutuhkan untuk menentukan perencanaan terapi. Sebaiknya dilakukan di center yang menangani kasus SVM. MRI dapat mendeteksi beberapa SVM dengan tingkat sensitifitas dan keamanan yang lebih tinggi dibandingkan angiografi, tetapi tidak cukup untuk merencanakan suatu terapi. 82% MRI menunjukan gambaran flow void di extramedulla. Berbagai derajat intensitas sinyal cord enhancement (mulai dari venous congestion atau venous infarction). Negative MRI tidak mengeluarkan suatu lesi untuk pertimbangan sebagai suatu SVM.
          Myelography umumnya menunjukan serpiginous intradural filling defect. Secara umum mengungguli pemeriksaan MRI. Jika dilakukan, pasien sebaiknya dilakukan myelography dengan posisi prone dan supine (untuk menghindari terlewatnya suatu kecurigaan dorsal AVM). Resiko perdarahan akibat puncture dari arteri/vena yang berdilatasi bila dilakukan puncture dengan jarum myelography.


... Neoplastic Vascular Lesions

Klasifikasi Spinal Vascular Malformation

Walaupun sudah banyak kontribusi dari berbagai peneliti dan institusi dalam memahami lesi vascular di spinal cord, kita akan menjumpai kebingungan apabila melihat hasil publikasi ataupun seperti yang dijabarkan literatur, dimana nomenclature yang dipakai biasanya tidak sesuai dengan lesi yang ditemukan (Tabel 1).

Tabel 1. Nomenclature lama yang dipakai untuk menggambarkan lesi vaskuler di spinal cord.2

Ada beberapa klasifikasi spinal vascular malformation lain yang diusulkan, antara lain:

The “American/English/France” Connection Classification1
·         Type I (dural AVM, AV-fistula, AVF)
o   Type IA (single arterial feeder)
o   Type IB (two or more arterial feeder)
·         Type II (spinal glomus AVM)
·         Type III (juvenille spinal AVM)
·         Type IV (intradural perimedullary AVM, pial AVF)
o   Subtype I
o   Subtype II
o   Subtype III

Topographic Classification
Berdasarkan topografinya, dibagi menjadi (Tabel 2).

Tabel 2. Klasifikasi topografis untuk spinal arteriovenous lesion.3
Spetzler, et al. Classification
        Klasifikasi ini berdasarkan gambaran patofisiologi, gambaran neuroimaging, pengamatan intraoperatif, dan neuroanatomi, yang dilakukan Spetzler, et al. Klasifikasi ini memberikan beberapa keuntungan. Pertama, klasifikasi ini meliputi semua surgical vascular lesions yang mengenai spinal cord. Kedua, dapat menjadi pertimbangan pemilihan terapi berdasarkan lokasi lesi dan patofisiologinya. Ketiga, klasifikasi ini menghilangkan kebingungan akibat banyaknya istilah nomenklatur yang ditemukan di literatur (Tabel 3).

Tabel 3. Klasifikasi spinal vascular malformation menurut Spetzler, et al.2

Case Report : Spinal Arteriovenous Malformation

Abstrak
        Vascular malformation pada spinal cord dan spinal duramater meliputi 3-4% dari seluruh lesi di spinal cord. Kelainan ini sangat jarang ditemukan, dan kebanyakan pasien datang dengan kondisi klinis yang buruk dan dengan defisit neurologis yang berat, bahkan dapat mengancam jiwa jika tidak segera dikenali dan ditangani dengan baik. Karena sifat alaminya, lesi-lesi vaskuler pada spine kadang sering dilupakan sebagai diagnosis banding pada pasien dengan massa di spinal cord atau dengan kondisi myelopati yang progresif. Pada case report ini, akan dipaparkan satu kasus anak wanita berumur 14 tahun dengan dugaan suatu spinal arteriovenous malformation (spinal AVM), yang akan dibahas perjalan penyakitnya, evaluasi klinis dan penunjang, serta penatalaksanaan terbaik. Diharapkan dari case report ini, kita dapat mengambil pelajaran untuk selalu mempertimbangkan spinal vascular malformation sebagai salah satu diagnosis banding pada pasien dengan myelopati progresif dan terdapat gambaran massa yang terlihat pada pemeriksaan radiologis.

Keyword : Spinal vascular malformation, Spinal arteriovenous malformation

Pendahuluan

        Spinal cord terdiri atas neuronal pathways, glial tissue, dan interwoven vascular structure yang memberikan perfusi ke parenkim spinal.  Spinal cord vascular malformation (arterial dan venous) merupakan suatu jenis heterogen kelainan pembuluh darah yang mengenai parenkim dari spinal cord, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Insidensinya mencapai 3-4% dari seluruh kasus primary intraspinal mass. 80% terjadi antara usia 20 tahun dan 60 tahun.1 Kelompok ini terdiri dari spinal arteriovenous malformation (spinal AVM), dural arteriovenous fistula (spinal AVF), spinal hemangioma, cavernous angioma dan aneurysma. Namun pengelompokan ini juga menjadi membingungkan. Awalnya dipikirkan bahwa kelompok jenis penyakit ini berhubungan dengan koneksi yang abnormal antara arteri dan vena, terlepas dari patofisiologi, symptomatology, penatalaksanaan ataupun prognosisnya. Bahkan, karena pilihan penatalaksanaan berhubungan erat dengan pertimbangan anatomi, dan dari perspektif historis penatalaksanaannya semakin berkembang, pengklasifikasian spinal vascular malformation tetap menjadi perdebatan.

Case Report
      Seorang anak wanita berumur 14 tahun, datang ke Poli Bedah Saraf RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung dengan keluhan utama lemah keempat anggota gerak. Dari riwayat perjalanan penyakit didapatkan sejak 6 minggu yang lalu, secara tiba-tiba pasien mengeluh hipestesi pada lengan kanannya yang diikuti dengan kelemahan keempat anggota geraknya 2 minggu kemudian. Tidak ada riwayat trauma ataupun infeksi sebelumnya pada pasien ini. Kelemahan keempat anggota gerak dirasakan semakin memberat hingga 3 minggu yang lalu sehingga pasien menjadi tidak dapat berjalan dan mulai timbul keluhan retensio urine dan defekasi, serta mulai timbul pressure sore di daerah sacrum. Keluarga lalu membawa pasien berobat ke rumah sakit terdekat, dirawat dan dilakukan pengobatan selama 9 hari, serta dilakukan pemeriksaan MRI Cervical. Pasien lalu dirujuk ke Poli Bedah Saraf RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
        Dari pemeriksaan fisik terdapat pressure sore grade II di daerah sacrum dengan ukuran ± 15 x 10 cm, GCS 15 dengan hipestesi setinggi level dermatom Lumbal 1 ke bawah, dan tetraparese, ekstremitas superior terdapat parese setinggi myotome C8 dan Th1 bilateral dengan kekuatan motorik 0/5, ekstremitas inferior terdapat paraplegi setinggi myotome L2 dan L3 bilateral, dan parese setinggi myotome L4, L5 dan S1 bilateral dengan kekuatan motorik 1/5, dan refleks fisiologis tidak meningkat dan tidak ditemukan refleks patologis. Sacral sparing masih baik, reflex bulbo cavernosus juga masih baik. Propioceptif tidak terganggu dan fungsi otonom terganggu.
      Dari pemeriksaan penunjang, didapatkan lekositosis sebesar 19.000 sel/mL. Kemudian dari pemeriksaan MRI Cervical didapatkan pada T1-WI terdapat massa isointense setinggi C5 – C7, yang dengan pemberian kontras menyangat inhomogen. Pada T2-WI massa memberikan gambaran hiperintense. Massa terletak intramedulla dan cenderung berada di daerah ventral canalis spinalis. Dari gambaran ini disimpulkan massa merupakan suatu spinal vascular malformation (Gambar 1).

Gambar 1. MRI Cervical pasien. Atas A (T1-WI potongan sagittal), B (T1-WI potongan sagittal dengan kontras) ,C (T1-WI potongan axial dengan kontras): Tampak massa isointense setinggi C5 – C7, yang dengan pemberian kontras menyangat inhomogen. Bawah D (T2-WI potongan sagittal), E (T2-WI potongan axial): Massa memberikan gambaran hiperintense. Tampak massa terletak intramedulla dan cenderung berada di daerah ventral canalis spinalis. Disimpulkan massa merupakan suatu spinal vascular malformation
     Pasien lalu direncanakan untuk dilakukan reseksi AVM. Sayangnya, setelah dijelaskan tentang prosedur tata laksana dan komplikasi reseksi spinal AVM kepada keluarga pasien, keluarga pasien menolak dilakukan tindakan.

Rabu, 04 Juli 2012

Chordoma - Bagian 3

Penatalaksanaan1
                Karena sifat alami chordoma yang kemoresisten dan relative radioresisten, penatalaksanaan yang dianut sejak Cushing yaitu dengan surgical excision. Karena rekurensi lokal dibandingkan dengan metastasis jauh sangat mempengaruhi tingginya angka morbiditas dan mortalitas pasien, maka tujuan terapi yang tepat adalah complete excision dari tumor. Beberapa studi tentang kasus sacral chordoma dengan en bloc resection tanpa mengganggu margin tumor atau true oncologic resection (contohnya, dengan complete extirpation baik secara gross dan mikroskopik tercapai) berhubungan dengan meningkatnya angka survival dan mengurangi rate rekurensi lokal.          Semangat untuk melakukan reseksi yang agresif mulai menurun demi tercapainya surgical decompression yang aman diikuti dengan adjuvant radiation therapy yang memberikan long-term survival rate dan kualitas hidup yang lebih baik, terutama pada cranial chordoma. Saat ini, ada tiga pilihan penatalaksanaan chordoma: pembedahan saja, pembedahan diikuti radioterapi, atau biopsy diikuti radioterapi, dan pilihan yang diambil disesuaikan dengan karakteristik pasien dan tumornya sendiri. Untuk pasien yang inoperable, kemoterapi dapat memperlambat atau menghentikan sementara progresi tumor. Karena sifatnya yang tumbuh lambat, agen standard cytotoxic chemotherapy yang dapat membunuh fast-growing cancer cell umumnya tidak efektif, sehingga memerlukan agen kemoterapi berdasarkan targeted molecular cancer cell.

Pembedahan
                Untuk chordoma di sacrum dan mobile spine, complete en bloc resection (tumor removal dalam satu piece) dengan tumor-free margin menjadi tujuan pembedahannya. Reseksi intralesi (tumor removal menjadi beberapa pieces) berhubungan dengan meningkatnya angka rekurensi dan menurunnya survival time10.
                Pembedahan untuk sacral chordoma mungkin melibatkan sebagian sacrum atau seluruh sacrum tergantung pada lokasi dan ukuran tumor. Bergantung pada ekstensi tumor, prosedur ini mungkin juga membutuhkan kombinasi approach untuk mengakses tumor dari berbagai angle. Untuk mencapai wide margin, prosedur ini kadang mengorbankan sacral nerve, yang pada akhirnya menyebabkan gangguan motorik, sensorik, sphincter, atau disfungsi seksual. Ekstensi disfungsi bergantung pada sacral nerve mana yang harus dikorbankan. Secara umum, semakin jauh ekstensi tumor pada sacrum, akan banyak sacral nerve yang harus dikorbankan, dan makin besar pula disfungsi yang akan terjadi pasca operasi.
                Untuk pembedahan baik pada spinal dan sacral chordoma, rekonstruksi mekanik dan soft tissue biasanya dibutuhkan setelah dilakukan tumor removal dan bila mengenai corpus vertebra. Karena kompleksnya pembedahan dan rekonstruksi, multidisciplinary surgical team mungkin dibutuhkan, termasuk didalamnya surgical oncology, neurosurgery, orthopaedi, vascular surgery, dan plastic surgery.

  
Radioterapi
                Ketika tumor telah diremoved, dan complete resection tidak tercapai, radioterapi biasanya direkomendasikan untuk mengurangi kemungkinan re-growth dari residual tumor. Jika tercapai complete resection, radioterapi kadang dianjurkan, tetapi keuntungan dari radioterapi masih dalam penelitian11.
                Chordoma hanya dapat dikendalikan dengan memberikan radiasi dalam dosis yang sangat tinggi – dosis dimana akan menyebabkan kerusakan permanen dari jaringan normal. Karena lokasi tumor yang umumnya berdekatan dengan struktur anatomi penting seperti otak dan spinal cord, dimana keduanya tidak dapat mentoleransi dosis radiasi yang diberikan untuk membunuh chordoma, radioterapi untuk chordoma harus diberikan secara conformal, yaitu terfokus pada tumor dan menghindari jaringan normal disekitarnya.
                Radioterapi dengan menggunakan proton beam therapy sangat direkomendasikan untuk pasien chordoma karena ia memberikan dosis radiasi yang sangat tinggi terhadap tumor tetapi meminimalisir dosis ke jaringan normal disekitarnya. Tipe lain dari particle beam radiation yaitu carbon ion therapy juga mirip dengan proton beam therapy, tetapi hanya tersedia di beberapa center.
                Beberapa tipe conformal radiation lain, seperti radiosurgery (termasuk Gamma Knife dan Cyber Knife) dan intensity modulated radiotherapy (IMRT) dapat juga memberikan hasil yang efektif, tergantung pada ukuran dan lokasi tumor. Belum ada penelitian yang membandingkan secara langsung untuk memberikan hasil yang optimal dari berbagai jenis radioterapi ini. Namun begitu, ada consensus dimana conventional photon radiation tidak memberikan keuntungan pada pasien chordoma12. Pada radioterapi pada spinal chordoma, efek radiasi dapat mengakibatkan kerusakan spinal cord, yang salah satunya bias menyebabkan paralisis. Pada sacral chordoma akan menyebabkan radiation proctitis, yaitu kerusakan jaringan atau inflamasi pada colon.
                Jika tumor rekuren setelah diberikan irradiasi inisial, masih ada kemungkinan diberikan radioterapi kembali atau malah tidak sama sekali. Ini dikarenakan setiap jaringan normal tubuh mempunyai batas toleransi life-time maksimum terhadap radiasi, yang apabila dilewati akan memberikan kerusakan yang serius. Kadang, memberikan radioterapi yang tepat pun dapat merusak struktur normal disekitarnya apabila dosis radiasi yang diberikan mencapai batas life-time maksimum. Karena itu pemberian radioterapi ulang harus memperhatikan pada lokasi dari tumor berasal, lokasi dari tumor yang rekuren, dosis dan distribusi dari radiasi yang diberikan pada saat radioterapi inisial, dan beberapa faktor lainnya13. Dosis radiasi yang diberikan berkisar antara 4500 – 8000 rad untuk saccrococcygeal dan 4500 – 5500 rad untuk cervical spine.

Kemoterapi
                Jika pembedahan dan/atau radiasi saja tidak memungkinkan, kemoterapi dapat diberikan untuk menurunkan progresifitas penyakit. Karena chordoma cenderung tumbuh lambat, umumnya resisten terhadap conventional cytotoxic chemotherapy agent yang biasanya membunuh sel tumor yang tumbuh cepat. Saat ini sedang dikembangkan obat kemoterapi yang dikhususkan secara targeted cell. Diantaranya yaitu Imatinib (Gleevec®), suatu tyrosine kinase inhibitor.

Prognosis
Saat ini median survival mencapai 6,3 tahun14.

Referensi
1.       Justin S. Cetas, S. A. H., Johnny B. Delashaw Jr. Chordoma and Chondrosarcoma. Youmans Neurological Surgery. M. H. Richard Winn. Philadelphia, Elsevier Saunders. 2011.  2: 1587-1593.
2.       Catton C, O'Sullivan B, Bell R, eta!. Chordoma: long-term follow-up after radical photon irradiation. Radiotber Oneal. 1996;41 :67-72.
3.       Brada M, Pijls-Johannesma M, De Ruysscher D. Proton therapy in clinical practice: current clinical evidence. J Clin Oneal. 2007; 25:965-970.
4.       Palmer CA. Chordoma. Downloaded from http://emedicine.medscape.com/article/250902-overview on 6/13/12.
5.       Brandal P, Bjerkehagen B, Danielsen H, Heim S. Chromosome 7 abnormalities are common in chordomas.  Cancer Genet Cytogenet. Jul 1 2005; 160(1): 15-21
6.       Lanzino G, Dumont AS, Lopes ME, et al. Skull base chordomas: overview of disease, management options, and outcome. Neurosurg Focus.  2001; 10(3):EI2.
7.       Letson GD, Muro-Cacho CA. Genetic and molecular abnormalities in tumors of the bone and soft tissues. Cancer Control.  2001; 8:239-25I.
8. Peretti P. Imaging in chordoma. Downloaded from http://emedicine.medscape.com/article/339169-overview   on 6/13/12.
9.       Mukherjee D, ChaiChana KL, GokasLan ZL, Aaronson O, Cheng JS, McGirt MJ. Survival of patients with malignant primary osseous spinal neoplasms: results from the Surveillance, Epidemiology, and End Results (SEER) database from 1973 to 2003. J Neurosurg Spine 14:143–150, 2011
10.   P. Bergh, L.G. Kindblom, B. Gunterberg, F. Remotti, W. Ryd, and J.M. Meis-Kindblom, "Prognostic factors in chordoma of the sacrum and mobile spine: a study of 39 patients.", Cancer, 2000.
11.   D.M. Sciubba, J.J. Cheng, R.J. Petteys, K.L. Weber, D.A. Frassica, and Z.L. Gokaslan, "Chordoma of the sacrum and vertebral bodies.", The Journal of the American Academy of Orthopaedic Surgeons, 2009.
12.   M. Amichetti, M. Cianchetti, D. Amelio, R.M. Enrici, and G. Minniti, "Proton therapy in chordoma of the base of the skull: a systematic review.", Neurosurgical review, 2009.
13.   B.P. Walcott, B.V. Nahed, A. Mohyeldin, J. Coumans, K.T. Kahle, and M.J. Ferreira, "Chordoma: current concepts, management, and future directions.", The lancet oncology, 2012.
14.   Jiang L, Liu ZJ, Liu XG, et al.: Upper cervical spine chordoma of C2-C3. Eur Spine J 18 (3): Eur Spine J: 293-298; discussion 298-300, 2009.

Selasa, 03 Juli 2012

Chordoma - Bagian 2


Gambaran Histopatologi1
                Secara makroskopis, chordoma berbentuk nodular, massa exophytic dengan warna keputihan atau kadang kemerahan. Pada lapisan luar, tumor dilapisi oleh jaringan fibrous yang berhubungan dengan bagian dalamnya yang bersepta-septa yang juga dilapisi jaringan fibrous. Karenanya bila tumor dipotong cross section akan terlihat berlobus-lobus. Walaupun dilapisi jaringan fibrous, tumor ini jarang dilapisi oleh kapsul yang tebal. Pada bagian dalam, tumor terasa lembut, berwarna abu-abu, dan translucent tetapi secara umum tidak ditemukan daerah nekrosis yang signifikan. Sebagai tambahan karena sifatnya yang mendestruksi struktur tulang disekitarnya, tumor ini akan ekspansi hingga mencapai bagian kartilago dari tulang, sehingga keputusan untuk mendapatkan batas excisi secara onkologis  akan sulit bahkan mungkin mustahil.
                Secara mikroskopis, menurut histokimianya chordoma dibagi menjadi tiga tipe: conventional, chondroid dan dedifferentiated. Conventional chordoma terdiri dari sel-sel sheet atau chord dengan eosinophilic cytoplasm yang bercampur dengan mucinous matrix. Gambaran sel-sel ini dapat bervariasi mulai dari sitoplasma yang homogen tanpa ditemukan vacuola hingga sitoplasma dengan gambaran vacuola yang besar, yang disebut juga sebagai physaliphorous atau bubble-bearing cells. Differensiasi menjadi cartiloginous atau kadang kala menjadi osseous-appearing cell dapat terjadi secara fokal atau menyeluruh di seluruh bagian tumor, dan jika ekstensif, akan dibedakan antara chondroid chordoma subtype dengan conventional chordoma. Jarang sekali chordoma bertransformasi menjadi malignant, yang selanjutnya disebut sebagai dedifferentiated chordoma. Pada subtype ini gambaran sarcomatous yang predominan dengan malignant spindle cell, sel-selnya lebih banyak atipia, dan meningkatnya mitotic index. Secara immunohistokimia, chordoma reaktif terhadap epithelial membrane antigen, cytokeratin, α-fetoprotein, dan jarang, S-100.













Presentasi Klinis
                Bergantung pada lokasi dan ukuran tumor, pasien dapat saja mengeluh :
·         Nyeri, lokal maupun radikuler
·         Gangguan sphincter, konstipasi
·         Benjolan

Radiologis
                Untuk chordoma pada cranial, CT Scan dan MRI memberikan peranan yang saling melengkapi satu sama lain dalam mengevaluasi chordoma. CT Scan memberikan gambaran keterlibatan tulang atau destruksi tulang dan untuk mendeteksi pola kalsifikasi di dalam lesi, sedangkan MRI memberikan analisa tiga dimensi yang sangat baik terhadap struktur jaringan otak di sekitar lesi (batang otak, sella tursica, sinus cavernosus, struktur neurovaskuler). Tetapi, MRI tidak dapat menggambarkan kalsifikasi dan kejelasan keterlibatan proses osteolisis di skull base sebaik CT Scan, terutama gambaran skull base foramina1.
Sama halnya dengan spinal chordoma, CT Scan dan MRI saling melengkapi. Tetapi sebagai keuntungan tambahan, untuk menganalisa daerah yang luas (misalnya sepanjang spinal axis dan root), lebih baik menggunakan MRI dibandingkan dengan CT Scan.
                Untuk gambaran radiologis, chordoma dan chondrosarcoma kadang sangat sulit dibedakan satu sama lain, kecuali bahwa chondrosarcoma cenderung tumbuh dari lokasi paramedian dan chordoma biasanya selalu ditemukan sepanjang atau dekat dengan midline6. Gambaran lokasi ini tidak bisa dijadikan pegangan apabila tumor sudah ditemukan tumbuh asimetris dan cukup besar ukurannya.

Foto Polos
Chordoma memberikan 4 karakteristik patognomonic pada evaluasi dengan foto polos :
·         - Ekspansi tulang
·         - Rarefaction
·         - Trabeculation
·         - Calcification
Gambaran radiologis umumnya menunjukan proses litik, dengan banyak ditemukan kalsifikasi atau sequetrasi fragmen tulang. Tetapi pada evaluasi radiologis dengan foto polos tidak menunjukan sensitifitas atau spesifitas pada chordoma. Karenanya dibutuhkan pemeriksaan radiologis lain.


CT Scan
                CT Scan merupakan modalitas esensial karena sensitifitasnya, dan akurat dalam menilai integritas tulang, bone destruction, dan kalsifikasi atau fragmen tulang di dalam lesi. Pada pemeriksaan CT Scan tanpa kontras akan memberikan gambaran slight hiperdense yang homogen sebanding dengan densitas yang mirip dengan otot, dan ditemukan kalsifikasi dalam jumlah yang bervariasi. Kalsifikasi ditemukan kurang dari 50% pasien, dan sulit membedakannya dengan sequestered bone fragment. Pada bone windows sering memberikan gambaran bony erosion yang signifikan. Pada pemberian kontras akan memberikan penyangatan yang heterogen.

§  Sacrococcygeal chordoma
Sacrococcygeal chordoma sering terlihat massif, berbatas tegas yang menggeser jaringan lemak dari pelvis dan melibatkan struktur tulang dan daerah epidural. Peripheral sclerosis ditemukan hampir sekitar 50% pasien, dan sering didapatkan batas yang jelas antara komponen soft tissue dan daerah tulang yang terlibat. Sering juga ditemukan KGB regional terinvasi tumor. Tanda pasti adanya sacral chordoma yaitu adanya destruksi beberapa vertebra sacral yang berhubungan dengan massa, anterior dari sacrum. Tetapi, apabila ditemukan hubungan antara lesi osteolitik dan massa lunak yang melibatkan discus dan vertebra bias disebabkan karena neurofibroma, lymphoma, metastasis, dan plasmacytoma.

§  Spinal chordoma
Walaupun jarang ditemukan, chordoma dapat timbul pada mobile spine (misalnya di cervical, thorakal atau lumbal) sekitar 15%. Cervical spine merupakan lokasi tersering pada chordoma, dengan predominance pada C2; sedangkan thorakal dan lumbal lebih jarang lagi ditemukan. Awalnya, gambaran chordoma pada CT Scan ditemukan destruksi tulang yang berada di tengah corpus vertebra, yang mendestruksi kea rah anterior atau lateral corpus, hingga dapat mencapai paraspinal soft tissue, yang dapat mengandung kalsifikasi. Setelah corpus vertebra terlibat, akan mendestruksi pedicle, laminae, dan processus spinalis; tetapi discus intervertebralis walaupun dekat biasanya tidak terdestruksi. Chordoma yang terjadi di atas sacrum biasanya berasal dari single vertebral body, awalnya memberikan perubahan litik dan akhirnya mengakibatkan vertebral collapse. Kadang kala, vertebra yang berdekatan akan destruksi dengan discus yang masih baik. Ekstensi epidural dari tumor juga sering ditemukan. Massa terbesar tumor biasanya terletak anterior dari vertebra. Berikut gambaran chordoma pada CT Scan8.



MR - Imaging
                MRI memberikan informasi multiplane yang detail, dengan gambaran yang jelas antara tumor dan struktur anatomi disekitarnya. Pada MRI, sacrococcygeal chordoma akan terlihat lobulated, biasanya pada T1-WI akan memberikan gambaran isointense hingga hipointense. Kadang pada T1-WI ditemukan gambaran hiperintense yang berhubungan dengan adanya perdarahan dan koleksi musin.
Pada T2-WI, akan memberikan gambaran hiperintense, tetapi dapat saja intensitas sinyalnya heterogen karena adanya kalsifikasi dan sequestrasi tulang. Dengan pemberian kontras (Gadolinum) akan memberikan penyangatan yang heterogen, kadang memberikan honeycomb appearance dengan sinyal hipointense di dalam daerah tumor.
Untuk sacrococcygeal chordoma, ekstensi tumor sangatlah penting untuk dipastikan pada saat perencanaan preoperatif, dengan memperhatikan ekstensinya sebagai berikut8 :
§  Proximal extension         – Tulang dan sacral canal
§  Distal-lateral extension   – Gluteus maximus, harmstring, dan nervus dan notch sciaticus
§  Anterior extension         – Retroperitoneal lymph node dan rectum
§  Posterior extension        – Subcutaneous fat


Differential Diagnosis
                Untuk differential diagnosis pada malignant primary osseus spinal neoplasm, dari sebuah penelitian multicenter selama 3 dekade (1973 – 2003) didapatkan9 :
·         Chondrosarcoma (30,6%)
·         Ewing sarcoma (24,8%)
·         Osteosarcoma (22,7%)
·         Chordoma (21,9%)

Chordoma - Bagian 1



Pendahuluan
                Chordoma merupakan tumor primer yang jarang ditemukan, tumbuh lambat tetapi bersifat locally aggressive yang berasal dari residual rest sel-sel notochord sepanjang axis craniospinal. Tumor ini relatif tidak sensitif terhadap radioterapi dan kemoterapi. Konsekuensinya, pembedahan menjadi modalitas terapi primer terhadap tumor ini, dan complete resection, terutama pada sacral chordoma, berhubungan dengan meningkatnya survival time. Pada referat ini akan dibatasi mengenai chordoma pada spine saja.

Latar Belakang Sejarah
                Virchow pertama kali menggambarkan nodul kecil di sepanjang clivus pada tahun 1846 dan kemudian menamakannya "ecchondrosis physaliphora" pada tahun 1857 karena ia berhipotesis tumor ini berasal dari kartilago. Setahun berikutnya, Luschka, Benker, dan Hasse  menggambarkan nodul yang mirip. Tahun yang sama, Muller mempostulasikan bahwa ecchondrosis physaliphora berasal dari notochord. Tahun 1894, Ribbert mengemukakan istilah “chordoma” dan mempresentasikan kasus yang mendukung hipotesis Muller. Setahun kemudian, Ribbert bereksperimen dengan menginduksi chordoma pada kelinci dengan cara memperforasi ligament anterior intervertebral. Pada tahun 1909, Harvey Cushing melaporkan tumor removal chordoma (yang awalnya diduga sebagai teratoma) pada seorang pasien berumur 35 tahun (walaupun pasien ini meninggal 6 bulan setelah direoperasi)1.

Epidemiologi
                Chordoma adalah tumor yang jarang, tumbuh lambat yang dipercaya berasal dari sisa sel-sel vestigial notochord. Presentasinya mencapai 0,2% dari seluruh tumor SSP, dan hanya 1% - 4% dari tumor primer tulang dengan age-adjusted incidence rate mencapai 0,08 per 100.000 pasien per tahun. Akan terjadi kenaikan insidensinya 2 x lipat lebih besar pada laki-laki dan 5 x lipat insidensinya pada populasi kulit putih. Bila melihat dari seluruh lokasinya, perbandingan laki-laki : wanita mencapai 2:1. Peak incidence terjadi pada dekade 8, dan pertumbuhan chordoma jarang ditemukan sebelum umur 40 tahun. Berdasarkan penelitian multicenter, dari lokasi anatomis ditemukan yaitu pada spheno-occipital region (32%), mobile spine (32,8%), dan sacrum (29,2%)2. Pada penelitian terdahulu diperkirakan sacral chordoma mencapai 50% kasus, 35% merupakan cranial chordoma, dan 15% spinal chordoma diluar sacrum3. Pada sebuah studi didapatkan, usia rata-rata saat didiagnosis pada semua pasien chordoma yaitu 56 tahun, dengan rentang usia 27-80 tahun. Bila dilihat dari lokasinya, usia rata-rata untuk intracranial chordoma yaitu 48 tahun dan terbanyak berada di sphenoccipital. Untuk sacrococcygeal chordoma usia rata-rata yaitu 56 tahun. Sedangkan spinal chordoma selain sacrococcygeal usia rata-ratanya 46 tahun4.

Etiologi
                Chordoma diduga berasal dari sisa notochord primitive (primitive notochordal remnant) di sepanjang axial skeleton. Selama perkembangan embrio, notochord akan dikelilingi oleh columna vertebralis yang sedang berkembang. Pada perkembangannya, notochord nanti akan menjadi nucleus pulposus dari intervertebral disc. Notochordal remnant ekstradura sering ditemukan pada daerah sacrococcygeal tetapi dapat juga ditemukan sepanjang axial skeleton. Distribusi tumor chordoma sebanding dengan distribusi remnant notochord ini.
Notochord sendiri adalah struktur yang lestari secara evolusi (evolutionary conserved structure), karenanya diistilahkan Chordata, yang berasal dari perkembangan dini embrio di daerah dorsal. Notochord memerankan peranan penting pada banyak aspek perkembangan, seperti menentukan axis dorsal-ventral dari neural tube (melalui sekresi sonic hedgehoc homologue [SHH] gene product), menentukan ke-asimetris-an kanan-kiri, dan takdir arterial-versus-venous dari pembuluh darah primitif. Notochord terdiri dari sel-sel yang kaya akan vakuola (highly vacuolated cells – disebut juga physaliphorous cells) yang mengandung hydrated protein matrix dan dikelilingi oleh basement membrane yang tebal. Protein matrix ini menyerap air, yang menyebabkan sel-selnya menjadi bengkak dan memberikan tekanan pada basement membrane. Akibat proses ini, notochord memberikan struktur support terhadapa embrio yang sedang berkembang1. Pada hewan yang mempunyai tulang belakang, notchord tidak berinvolusi sebagaimana struktur disekitarnya seperti somite yang akan membentuk vertebral body. Beberapa sel notochord akan menetap dan membentuk nucleus pulposus dari intervertebral disc, sedangkan sisanya akan “beristirahat” di dalam clivus, sacrum, dan vertebra. Hubungan antara kesemua cellular rest ini dan perkembangan dari chordoma sangatlah kompleks. Sepanjang dorsal clivus, sebagai contoh, sekitar 2% dari populasi, berdasarkan hasil otopsi, didapatkan benign growth dari ecchordosis physaliphora (ecchondrosis of Virchow). Sangat jarang ditemukan, tumor ini dapat tumbuh besar dan menjadi symptomatic giant ecchordosis atau intradural  benign  chordomas. Tumor-tumor ini secara immunohistokimia berbeda dari fetal notochord rest. Namun, apakah semua chordoma berasal dari benign tumor precursor tidak diketahui.

                Beberapa chordoma dikaitkan perkembangannya secara genetik. Tetapi, hampir semua berkaitan dengan complex karyotype yang abnormal, antara lain hilangnya semua atau sebagian dari kromosom 3, 4, 10 dan 13, tambahan pada kromosom 7, dan rearrangement dari kromosom 1p5. Kesemuanya berhubungan dengan pathogenesis dari chordoma. Juga, telah dilaporkan adanya ketidakstabilan microsatellite akibat dari DNA mismatch repair deficiency, tetapi tidak ditemukan bukti adanya chordoma-specific translocation.

Cytogenetic1
                Sejumlah studi tentang cytogenetic chordoma telah dipublikasikan. Penyebab umum kromosom yang abnormal yang sudah diidentifikasi yaitu monosomi kromosom 1 dan gain kromosom 7. Kelainan kromosom lain yang juga telah diteliti (baik loss atau gain) melibatkan 1q, 2p, 3p, Sp, 9p, 10, 12 q, 13q, 17, dan 20q. Penelitian terbaru menyebutkan bahwa abnormalitas pada region 6p32 mempunyai hubungan spesifik dengan genesis dari chordoma (dibandingkan dengan progresi atau rekurensi). Walaupun kebanyakan chordoma merupakan sporadic origin, case report adanya potensi garis keturunan keluarga dengan chordoma telah banyak dipublikasikan. Pada studi ini menunjukan tidak ada konsistensi perubahan cytogenetic dengan heterogenitas pada kasus sporadic. Sampai saat ini, tidak ada gambaran cytogenetic yang konsisten dalam memprediksi tumor biology atau respon terhadap terapi7.
                Dari tampilan ketidakstabilan genetik tumor ini, memberikan kemungkinan dikembangkannya intervensi kemoterapi. Sayangnya, keberhasilan identifikasi dan penggunaan agen kemoterapi yang tepat masih membutuhkan waktu yang panjang.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More